Gencatan Senjata di Suriah Dimulai, Bagaimana dengan Kelompok-kelompok yang tak Terlibat?

Gencatan Senjata di Suriah
Seorang anak bermain di antara gedung di Kota Homs yang hancur, Jumat (26/2).

DAMASKUS (SALAM-ONLINE): Senapan-senapan terdiam di seluruh Suriah pada Sabtu (27/2), menandai pemberlakuan gencatan senjata yang didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sementara satuan tugas khusus yang dipimpin oleh Moskow dan Washington bersiap memantau gencatan senjata yang direncanakan berlangsung untuk 2 pekan itu.

Tepat tengah malam, tembakan berhenti di daerah pinggiran sekitar ibu kota dan kota bagian timur Aleppo yang hancur, kata koresponden kantor berita AFP setelah sehari serangan udara Rusia ke benteng-benteng pertahanan kelompok pejuang oposisi di seluruh negeri itu.

Kelompok pemantau Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) menyatakan suasana tenang di provinsi bagian utara Latakia dan provinsi bagian tengah Homs dan Hama.

Gencatan senjata di seluruh negeri itu merupakan jeda pertama dalam lima tahun perang sipil yang telah merenggut lebih dari 400.000 jiwa itu, sebagaimana data PBB yang dirilis November 2015 lalu.

“Saya tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa saya senang perang berhenti, meski hanya beberapa menit,” kata tentara rezim berusia 24 tahun, Abdel Rahman Issa, dari medan perang di pinggiran timur Damaskus.

“Jika terus seperti ini, mungkin kami bisa pulang,” katanya.

Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Staffan de Mistura mengatakan pembicaraan perdamaian akan berlanjut 7 Maret jika kesepakatan bertahan dan lebih banyak bantuan dikirimkan–titik kunci dari perundingan untuk gencatan senjata.

Pertarungan tampaknya sudah “mereda”, katanya kepada para pewarta segera setelah tengah malam, menambahkan bahwa satuan tugas khusus akan bertemu di Jenewa untuk memantau gencatan senjata.

Moskow dan Washington, yang memimpin satuan tugas itu, sudah menyiapkan kantor untuk memantau gencatan senjata bersama dengan pusat operasi PBB.

“Poin pentingnya adalah jika ada insiden akan dengan cepat dikendalikan dan diatasi,” kata de Mistura, seraya menambahkan bahwa “respons militer seharusnya menjadi pilihan terakhir.”

Upaya sebelumnya untuk mengakhiri kekerasan di Suriah telah gagal dan baik Rusia maupun Amerika Serikat sudah memperingatkan bahwa penghentian pertempuran darat akan sulit dilakukan.

Satu hal pasti, gencatan senjata ini tidak menyertakan ISIS, Jabhah Nushrah dan kelompok-kelompok lain yang dianggap sebagai teroris.

Baca Juga

Pemimpin Jabhah Nushrah (JN) Abu Muhammad Al Jaulani, yang organisasinya dianggap sebagai kelompok teroris karena berafiliasi kepada Al-Qaidah, justru dalam sebuah pernyataan yang disiarkan secara eksklusif oleh Orient News, Jum’at (26/2), menegaskan bahwa kelompoknya menolak gencatan senjata di Suriah. Ia berjanji untuk berjuang sampai titik darah terakhir di tanah Suriah.

“Negosiasi mengenai Suriah yang sebenarnya berada di medan perang, bukan dalam sesi Dewan Keamanan atau di Jenewa seperti yang orang Arab lakukan. Mereka tidak memiliki pengalaman sebelumnya apa yang dilakukan oleh AS di Afghanistan dan Irak,” kata Al Jaulani.

Al Jaulani mengatakan, intervensi Rusia membuktikan kegagalan rezim Asad dan Iran di Suriah. Ia menyebut Barat tidak memberikan pengaruh dalam menyelesaikan konflik di Suriah.

“Pertumpahan darah dan kekejaman yang dilakukan terhadap warga sipil Suriah oleh Asad dan sekutunya terus berjalan, tidak berhenti,” ujar Jaulani.

Gencatan senjata, menurutnya, bertujuan untuk menjaga agar Asad tetap berkuasa. Sementara itu, keberhasilan revolusi Suriah adalah ketika Asad dan sekutunya pergi dari Suriah.

“Kami menolak gencatan senjata, karena hal itu bertujuan untuk menjaga Asad semakin berkuasa,” ujarnya.

Jaulani memperingatkan pihak-pihak yang mungkin akan terpengaruh dan menerima gencatan senjata sehingga tak mau kembali ke ladang pertempuran.

“Apakah Anda lupa pengorbanan rakyat Suriah? Apakah Anda lupa anak-anak tenggelam dan dibantai oleh Asad dan sekutunya?” katanya mengingatkan.

Karena kesepakatan “gencatan senjata” itu tidak melibatkan ISIS, Jabhah Nushrah, dan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai teroris, maka  kelompok-kelompok yang tidak termasuk dalam “penghentian permusuhan” itu akan tetap diperangi oleh rezim Asad dan pendukung-pendukung setianya seperti Rusia, Iran, dan milisi Syiah “Hizbullah”, juga AS dan sekutunya.

Dengan demikian, lantaran tak berlaku bagi kelompok-kelompok yang disebut sebagai teroris, maka gencatan senjata yang sesungguhnya boleh jadi belum bisa diwujudkan. Karena, pihak rezim dan sekutunya tetap akan menggempur kelompok-kelompok yang mereka anggap sebagai teroris. Sementara kelompok-kelompok yang tak terlibat dalam gencatan senjata ini, juga masih bebas bertempur, karena mereka merasa tak ada urusannya dengan “gencatan senjata”.

Sumber: Antara, Orient News

(EZ/salam-online)

Baca Juga