UU Terorisme Mau Direvisi, Abu Rusydan: “Terkesan Ada Agenda Tersembunyi”

Jpeg
Diskusi ‘Quo Vadis Revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dihelat INDRA Institute, Selasa (16/2), di Jakarta (Foto: EZ/salam-online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Mantan tertuduh Amir Jamaah Islamiyah (JI) Abu Rusydan menyebut upaya untuk melakukan revisi UU Terorisme sebagai hal yang paradoks. Pasalnya, ujarnya, PBB, Amerika, Australia bahkan beberapa negara Timur Tengah memuji keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi “terorisme”. Karena itu, ia mempertanyakan, mengapa sesuatu yang dinilai sudah berhasil, direvisi lagi.

“Upaya penanggulangan terorisme di Indonesia mendapat pujian dari beberapa pihak, PBB, Amerika, Australia bahkan beberapa negara di Timur Tengah belajar ke Indonesia bagaimana cara penanggulangan terorisme. Pada satu sisi upaya penanggulangan terorisme berhasil, tentunya menurut kaidah manajemen tidak perlu ada perubahan apa-apa,” terang Abu Rusydan dalam diskusi ‘Quo Vadis Revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme’ yang digelar Institute for Development Research and Analysis (INDRA Institute) di Jakarta, Selasa (16/2).

Menurutnya, jika sesuatu yang sudah berhasil, lalu direvisi, maka terkesan seperti ada agenda tersembunyi.

“Sesuatu yang sudah berhasil dalam kaidah manajemen tidak perlu diubah. Patut dicurigai ada agenda tersembunyi. Ini masalah besar. Saya tidak tahu agenda tersembunyinya apa. Tetapi persoalannya, jika ada agenda tersembunyi, kemudian tidak dijelaskan kepada publik, itu masalah besarnya akan menyesatkan publik,” katanya.

Bagaimana mungkin, kata Abu Rusydan, pihak yang seharusnya memberikan penjelasan tetapi dia malah memberikan penyesatan kepada publik.

Baca Juga

“Ini urusannya masalah moral bangsa. Sebenarnya masalah ini persoalan besarnya bukan pada undang-undangnya, tapi yang penting adalah bagaimana ada satu kontrol dan pengawasan terhadap penanganan terorisme oleh Densus 88,” tambahnya.

Ia menceritakan pengalaman saat penangkapannya pada 23 April 2003. Saat itu, ia dituduh menyembunyikan informasi keberadaan pelaku bom Bali. Ketika ditangkap, polisi tidak memberinya surat penangkapan.

“Saya korban Densus 88, pada waktu ditangkap pakai Perppu Oktober 2002 yang sekarang jadi UU No 15 tahun 2003. Saya ditangkap 23 April 2003, dituduh menyimpan Mukhlas, tapi pas ditangkap tidak diberi surat,” ungkapnya.

Begitu pula saat penangkapan, masa penahanan maupun penggeledahan. Dalam kasus-kasus terorisme, ujarnya, Densus 88 kerap mengabaikan prosedur hukum yang mereka buat sendiri.

Selain Abu Rusydan, hadir sebagai nara sumber dalam diskusi, Komisioner Komnas HAM Siane Indriani Anggota Komisi III DPR RI T. Taufiqulhadi, Direktur Imparsial Al A’raf dan Direktur An-Nashr Institute Munarman. (EZ/salam-online)

Baca Juga