Diskusi Institut Soekarno Hatta: ‘Kinerja TNI Dilemahkan dan Disalahgunakan’

Jpeg
Diskusi Publik Soekarno-Hatta Institute (Foto: EZ/salam-online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Kemerosotan kinerja Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini dirasakan cukup mendalam. Kinerja TNI seakan disalahgunakan oleh Gubernur DKI Jakarta dengan memanfaatkannya untuk memback-up pembebasan lahan di berbagai sudut kota.

Pernyataan tersebut merupakan hasil diskusi publik yang diselenggarakan oleh Institut Soekarno Hatta dengan tema ‘TNI Antara Idealisme dan Realitas di Era Reformasi’ di Restoran Pempek Kita, Jakarta, Jum’at (4/3).

Salah seorang pembicara, Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin menyebut pada 2004, saat itu dia sebagai sekretaris militer ikut cawe-cawe dalam melahirkan UU No 34.

“TNI menerima reformasi dengan lapang. Dan, catatan saya yang paling bisa mengubah diri atau melakukan reformasi itu adalah TNI,” ungkapnya.

Menurutnya, kalau dulu yang terjadi bukan dwifungsi ABRI atau TNI, melainkan hanya dwifungsi angkatan darat (AD).

“Dwifungsi AD juga hanya sebagian yang merasakan. Sekarang setelah reformasi ada MoU antara TNI dan Polisi. Dua-duanya lembaga pemerintah. Kalau begitu presidennya ke mana? Ini kacau,” sesalnya.

Pembicara lainnya adalah Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso. Ia mengungkapkan, idealisme TNI adalah idealisme prajurit ketika mampu mengerjakan tugas.

“Berbicara soal tugas ada 3 pokok penting, menjaga tegaknya kedaulatan negara, menjaga keutuhan tanah air, menjaga kesatuan bangsa. Itulah idealisme TNI, sangat sederhana. TNI sendiri mendukung reformasi. Tapi banyak pengamat mengatakan, reformasi kebablasan sehingga, menjadi liberalisasi,” ujar mantan Panglima TNI itu.

Kalau bicara peperangan sekarang ini adalah perang antara koorporat dengan rakyat.

Baca Juga

“Kereta api cepat, salah satu fenomena pertarungan antara kepentingan rakyat dan koorporat, bahkan biasanya Negara malah sampai kalah dengan koorporat,” kata mantan Kasad ini.

Hal senada diungkapkan Laksda (Purn) SB Ponto. Mantan Kepala BAIS ini berbicara soal perspektif hukum dalam pemberantasan “terorisme” yang menurutnya masih banyak yang belum dipenuhi.

“Misalnya, jika Pemerintah dan kepolisian tidak ingin ada ‘terorisme’ di negara ini maka para korban dan pelaku tindak ‘terorisme’ harus diberikan keadilan. Jika tidak ada keadilan, maka ‘terorisme’ tidak akan selesai,” ungkap Ponto.

Ia mengatakan sampai saat ini keadilan dirasakan belum dapat dicapai dengan baik.

“Ada 2 Undang-Undang, No 34 mengatur TNI dan No 15 mengurus Polisi. Keadilan dapat dicapai dengan hukum. Jadi seharusnya ‘teroris’ bisa ditangani Polisi dan TNI. Hukum itu bukan berarti ditembak mati, tetapi ada proses yang harus dilewati, persidangan salah satunya. Polisi juga tidak mau minta bantuan TNI. Sekarang yang ribut hanya BNPT dan Densus, padahal keduanya enggak punya UU,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Pertahanan dan Militer, DR Connie Rahakundini, melihat Indonesia sebagai negara strategis. Namun, TNI sebagai bagian dari strategis malah makin dilemahkan. Bahkan, terjadi kerancuan bentuk, posisi, dan tugas.

Jpeg
Diskusi Publik Institut Soekarno-Hatta (Foto: EZ/salam-online)

“Sekarang ini malah banyak proxy war. Misalnya, dulu TNI di Timor Timur, dipuja karena berhasil. Tapi juga dibenci karena dianggap melanggar HAM. Dalam kepemimpinan Jokowi-JK sendiri belum ada perubahan. Gagal paham, misalnya Kemenhan belum menyikapi bagaimana bentuk TNI dalam Poros Maritim,” tegas Connie. (EZ/salam-online)

Baca Juga