Anggota Komisi III: ‘Revisi UU Terorisme Berpotensi Langgar HAM’

Jpeg
Diskusi Publik ‘Densus 88 RUU Terorisme Membidik Islam?’, Rabu (23/3), di Gedung Joang, Jakarta Pusat. (Foto: EZ/salam-online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, ada beberapa poin dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang “terorisme” yang diajukan pemerintah kepada DPR, berpotensi melanggar HAM.

Di antara poin yang dimaksud itu adalah perpanjangan masa penangkapan menjadi 30 hari dan diperluasnya penanganan kasus dugaan tindak pidana terorisme.

“Dalam RUU perubahan tindak pidana ‘terorisme’ itu ada konsep pencegahan dengan perluasan, dengan adanya satu pasal yang memberikan kewenangan kepada penegak hukum untuk menempatkan orang di satu tempat tertentu selama 6 bulan dalam rangka deradikalisasi,” kata Arsul saat menjadi salah seorang pembicara dalam diskusi publik “Densus 88 & RUU Terorisme Membidik Islam”, di Gedung Joang, Jakarta, Rabu (23/3).

Kalau normanya, ujar Arsul, seperti terdapat dalam UU lalu diserahkan sepenuhnya kepada penegak hukum, tanpa memberi rambu-rambu yang lebih ketat. “Itu yang harus kita kritisi,” tegasnya.

Pada dasarnya, kata Asrul, dia tidak menolah revisi UU Terorisme itu. Namun, dia meminta pemerintah memberikan penjelasan rinci maksud dari ‘orang tertentu’ dalam draf tersebut.

Menurut politisi PPP ini, dalam draf yang sudah dia baca, muncul interpretasi apakah ‘orang tertentu’ yang dimaksud itu pelaku atau orang terdekat pelaku.

“Setiap ‘orang tertentu’ ini siapa, apakah yang sudah ‘terduga’ ataukah keluarga atau siapa. Detention (penahanan) ini apa maknanya, kegiatannya apa, di situ kan bagaimanapun dia, kalau mau keluar gimana, ini kan menyangkut kebebasan bergerak pada seseorang yang belum dinyatakan bersalah,” terangnya.

Dia menjelaskan, pemerintah sah-sah saja mengajukan revisi Undang-Undang tindak pidana “terorisme”. Namun perlu adanya spesifikasi dalam poin yang akan dikerucutkan. Jika poin yang dibubuhkan menimbulkan pelanggaran HAM, maka, itu perlu dipertimbangkan kembali.

“Jangan fokusnya memperluas tindak pidana, memperluas penahanan saja, tapi diseimbangkan juga dengan perluasan perlindungan HAM, tentu dalam kompensasi yang jelas, rehabilitasi yang jelas,” tandasnya.

Baca Juga

Berdasarkan draf yang telah dia peroleh, berikut tujuh poin revisi Undang-Undang tindak pidana “terorisme”:

Pertama, finalisasi tindak pidana “terorisme”, seperti penyimpanan bahan peledak, pakaian/barang militer untuk tindak pidana “terorisme”.

Kedua, pemberian sanksi kepada orang yang melakukan percobaan pemufakatan jahat dan pembantuan dalam rangka tindak pidana “terorisme”.

Ketiga, perluasan sanksi kepada yang bersangkutan, tidak hanya subyek orang per-orang, tapi termasuk korporasi badan hukum, yayasan dan segala macam organisasi.

Keempat, introduksi pidana tambahan Undang-Undang “terorisme”, pencabutan kewarganegaraan dan pencabutan paspor.

Kelima, penambahan kewenangan oleh instansi terkait di luar proses peradilan bagi warga negara yang mengikuti perang, latihan militer di luar negeri.

Keenam, melekspesialiskan beberapa bentuk upaya paksa dalam rangka menambah waktu penangkapan, penahanan, dari 7 hari menjadi 30 hari. Dan ditahan dari 60 hari ditambah jadi 60 hari lagi.

Ketujuh, terkait dengan penanggulangan tindak pidana dengan pencegahan. (EZ/salam-online)

Baca Juga