KontraS Duga Densus 88 Lakukan Aneka Pelanggaran dalam Kasus Penangkapan Siyono

Staf KontraS Satrio Wirataru (kiri) saat memberikan keterangan pers terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan Densus 88 terhadap Siyono (Foto-Eri Komar Sinaga-Tribunnews
Staf KontraS Satrio Wirataru (kiri) saat memberikan keterangan pers terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan Densus 88 dalam kasus penangkapan Siyono (Foto: Eri Komar Sinaga/Tribunnews)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menduga kuat Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri melakukan berbagai pelanggaran saat menangkap Siyono (39), warga Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, pada 8 Maret lalu, yang kemudian berujung pada kematian.

Staf Divisi Hak Sipil dan Politik KontraS, Satrio Wirataru, mengatakan Densus menangkap Siyono tanpa dibekali surat perintah penangkapan. Densus saat menangkap hanya mengatakan ada urusan utang piutang sehingga harus membawa Siyono yang baru selesai shalat magrib di masjid dekat rumahnya.

“Bahkan yang menangkap mereka tidak tahu siapa dan tiba-tiba ada serombongan personel bersenjata laras panjang untuk menggeledah. Di sita satu sepeda motor dan majalah TK (taman kanak-kanak),” kata Satrio di kantornya, Jakarta, Sabtu (25/3) seperti dikutip Tribunnews.

KontraS mengungkap kekagetan keluarga Siyono ketika keesokan harinya mendapat kabar dari seserong yang mengaku polisi menyampaikan kabar  Siyono sudah meninggal dunia dan keluarga diminta mengambil jenazah di  Jakarta.

“Untuk nge-print surat penangkapan saja tidak diberikan ke keluarga. Ini ada semangat dari Densus 88 tidak dibarengi semangat akuntabilitas. Ini sangat berbahaya,” kata Satrio.

Satrio menduga kuat Densus memanfaatkan kondisi keluarga Siyono yang buta huruf. Ayah Siyono, Marso, diminta polisi menandatangani surat tidak akan menuntut terkait kematian Siyono.

“Orang tua Siyono diintimidasi pihak Polres dan juga kades. Saat itu orangtua diminta menandatangani surat pertanggungnjawaban dan diminta mengikhlaskan,” terang Satrio.

Baca Juga

Kesalahan lain yang dilakukan Densus, menurut Satrio, adalah saat menangkap Siyono, dia hanya dikawal satu orang. Satu orang pengawal, katanya, adalah aneh, mengingat Densus mengidentifikasi Siyono sebagai “terduga teroris”.

“Padahal SOP mengawal itu dua orang untuk tahanan biasa. Kalau ‘teroris’, SOP tentu lebih tinggi,” ujar Satrio.

Satrio kembali mengingatkan mal-administrasi yang dilakukan Densus pada Desember 2015 saat Densus menangkap dua “terduga teroris” di Solo, Jawa Tengah bernisial AP dan NS.

Keduanya ditahan dan tidak menjalani penyidikan, juga tidak ada berita acara pemeriksaan (BAP) dan surat penetapan tersangka.

AP dan NS dibebaskan karena keluarga meminta untuk dibebaskan. Keduanya diharuskan menandatangani surat yang menjelaskan bahwa mereka berstatus tersangka.

KontraS, kata Satrio, sangat menyayangkan kejadian tersebut, mengingat Densus sebagai satuan khusus memiliki peraturan berlapis dalam melakukan operasi. Sebut saja Perppu soal “Terorisme” dan Peraturan Kapolri. (tribunnews)

Baca Juga