SOLO (SALAM-ONLINE): Sekitar 700-an massa yang tergabung dalam Komunitas Nahi Munkar Surakarta (KONAS) Selasa (15/3) siang menggelar aksi damai di Bundaran Gladag, Solo, untuk meminta kepada Presiden Jokowi agar membubarkan Densus 88.
Alasannya, berdasarkan data dari Komnas HAM, terdapat 118 orang yang telah meninggal dunia di tangan Densus 88. “Berita terkini adalah kematian Siyono warga Cawas Klaten yang meninggal dunia dengan luka-luka pada tubuhnya karena bekas penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88,” kata Koordinator Aksi, Abu Daud.
Ia mengatakan, pembunuhan tanpa didasari putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, termasuk kategori pelanggaran HAM berat yang sering dilakukan oleh Densus 88.
“Karena itu atas dasar untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk menjaga jiwa dan nyawa serta kehormatan umat Islam di Indonesia maka KONAS meminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk membubarkan Densus 88,” tegasnya.
Menurut Abu Daud, pertimbangan pembubaran Densus 88 didasari oleh fakta-fakta selama ini, bahwa Densus 88 disponsori dan dilatih negara barat untuk kepentingan memerangi aktivis Muslim dan gerakan Islam di Indonesia.
Dia katakan, target operasi Densus 88 adalah Ulama dan Aktivis Masjid. Densus 88 mengabaikan asas praduga tak bersalah, sering menembak mati seseorang yang statusnya baru terduga, tanpa adanya putusan pengadilan.
“Korban yang ditembak mati Densus 88 meninggal dengan luka tembak yang mengenaskan,” ujarnya.
Densus 88, kata Abu Daud, juga sering menembak mati seseorang yang sama sekali tidak terkait dengan kasus “terorisme”, selain kerap salah tangkap, sehingga akhirnya seseorang dipulangkan tanpa ada permintaan maaf, rehabilitasi maupun kompensasi.
Di samping itu, ungkapnya, sebagian besar tersangka “teroris” tidak diberikan haknya dalam memilih pengacara.
Itu belum lagi, kata dia, dalam kurun waktu 7×24 jam sering terjadi penganiayaan, penyiksaan dan tekanan secara fisik dan psikis terhadap tersangka “teroris” oleh Densus 88 yang mengakibatkan luka ringan, luka berat, luka permanen dan menyebabkan trauma korban, bahkan ada yang berakhir dengan kematian.
Lebih dari itu, ujar Abu Daud, Densus 88 sering melakukan aksi arogansi terhadap keluarga mereka yang ditangkap paksa, terlebih kepada anak-anak. Densus 88 bahkan, katanya, sering memperlambat pemulangan jenazah yang statusnya baru terduga “terorisme”, sehingga pemakaman jenazah yang semestinya menurut hukum Islam disegerakan, menjadi tertunda.
Ia juga mempertanyakan, mengapa Densus 88 diskriminatif. “Kasus penembakan di Papua yang mengakibatkan meninggalnya anggota TNI/Polri justru tidak ditindak,” sesalnya.
Terakhir, Abu Daud menyatakan keprihatinannya, karena oknum Densus yang merusak, membunuh, menyiksa dan menganiaya terduga “teroris” belum pernah diadili di pengadilan umum.
Orasi juga disampaikan, di antaranya oleh Edi Lukito, SH dan Ustadz Surowijoyo, dan ditutup dengan doa oleh Ustadz Mas’ud Izzul Mujahid.
Humas Aksi Endro Sudarsono mengungkapkan rasa syukurnya aksi damai ini berlangsung dengan tertib. Tampak Kapolresta Surakarta Kombespol Akhmad Lutfi, SH, turut menyaksikan acara di Bundaran Gladak beserta tim pengamanan dari jajaran TNI. (mus)