Tim Evaluasi Bentukan Komnas HAM Soroti Kejanggalan Kasus Bom Solo

Tim Evaluasi Penanganan Kasus Terorisme-1
Konferensi Pers Tim Evaluasi Penanganan Kasus ‘Terorisme’ bentukan Komnas HAM di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta, Jumat, 15 Juli 2016. (Foto: S)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Kasus peledakan bom di Mapolresta Solo, Selasa (5/7), sehari sebelum Idul Fitri jadi pintu masuk pembentukan Tim Evaluasi Penanganan Kasus ‘Terorisme’ oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Seperti sudah diketahui sebelumnya, sebuah bom meledak di Mapolresta Solo di penghujung Ramadhan yang lalu. Bom itu berasal dari seorang tamu tak dikenal yang masuk ke kantor Polresta Solo menggunakan sepeda motor.

Seorang provost yang berjaga di pintu depan kantor Mapolresta Solo mengalami luka dari serpihan bom. Sementara pelaku yang belakangan diketahui bernama Nur Rohman, meninggal di tempat.

“Beberapa saat setelah kejadian, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Tito Karnavian menyebut bahwa Nur Rohman (yang disebut sebagai pelaku bom Solo, red), sudah menjadi buronan sejak Desember 2000,” ungkap Komisioner Komnas HAM yang juga anggota Tim Evaluasi, Prof Hafid Abbas, saat konferensi pers Tim Evaluasi Penanganan Kasus Terorisme di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta, Jumat (15/7).

Tak hanya itu, yang bersangkutan juga dinyatakan terkait dengan ISIS.

Dalam konferensi pers yang digelar Tim Evaluasi, kejanggalan tersebut di atas tak luput jadi sorotan. Karena, jika disebut Nur Rohman sejak Desember tahun 2000 sudah jadi buronan, berarti pria kelahiran 1 November 1985 tersebut saat itu baru berusia antara 14-15 tahun, atau setidaknya, baru menginjak bangku SMP.

Karena itu, menurut Tim Evaluasi bentukan Komnas HAM yang terdiri dari 13 orang dari beragam latar belakang dan lembaga tersebut, jika sosok Nur Rohman sudah diidentifikasi sebagai buronan sejak tahun 2000, dan kemudian teridentifikasi pula kaitannya dengan jaringan ISIS, berarti yang bersangkutan baru berusia 14 tahun.

Baca Juga

“Jika Nur Rohman masuk sekolah usia 7 tahun berarti ia sudah menjadi ‘teroris’ ketika baru lulus SD atau duduk di kelas 1 SMP dan ia dengan mudah dapat ditangkap dengan mendatangi sekolahnya. Perlu disampaikan bahwa jaringan ISIS baru dinyatakan lahir pada tahun 2013,” kata Prof Hafid Abbas.

Demikian pula, ujarnya, secara sosiologis, sebagai penjual bakso keliling dengan tingkat pendidikan dan pergaulan yang amat terbatas, Nur Rohman tiba-tiba menjadi bagian dari jaringan ISIS di Indonesia.

Kondisi ini, kata Prof Hafid, perlu dipahami lebih lanjut apakah orang-orang seperti itu menjadi target prioritas ISIS dalam meluaskan jaringannya di Indonesia.

“Oleh karenanya, klarifikasi dari pihak terkait atas berbagai inkonsistensi atas status Nur Rohman sebagai buronan di usia kelas 6 SD atau kelas 1 SMP diperlukan agar masyarakat memperoleh informasi yang akurat dalam setiap langkah penanganan ‘terorisme’ di Indonesia,” terangnya.

Inkonsistensi lain, menurut tim, terkait dengan penjelasan keterlibatan Nur Rohman pada kasus bom Thamrin yang berubah-ubah sangat cepat.

Tim Evaluasi Penanganan Kasus ‘Terorisme’ berjumlah 13 tokoh, terdiri dari Busyro Muqoddas, Bambang Widodo Umar, KH Salahuddin Wahid, Trisno Raharjo, Ray Rangkuti, Dahnil Anzar Simanjuntak, Haris Azhar, Siane Indriani, Hafid Abbas, Maneger Nasution, Franz Magnis Seseno, Magdalena Sitorus dan Todung Mulya Lubis. (s)

Baca Juga