JAKARTA (SALAM-ONLINE): Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hari ini, Senin (24/10) ddatang ke istana kepresidenan. Setelah itu Ahok langsung ke Bareskrim Mabes Polri. Kedatangannya ke Bareskrim diberitakan atas inisiatifnya sendiri.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Brigjen (Pol) Agus Andrianto membenarkan hal tersebut.
Agus mengatakan, pihaknya tidak menjadwalkan pemeriksaan untuk Ahok hari ini terkait kasus penistaan terhadap Al-Qur’an Namun, ia menduga sebelumnya Ahok berkoordinasi dengan penyelidik untuk menentukan waktu pemeriksaan.
“Dia berkoordinasi, mohon waktu untuk diperiksa,” kata Agus.
Diberitakan pula kedatangan Ahok ke istana sebelumnya adalah untuk melapor dan minta izin kepada presiden terkait rencana pemeriksaan di Bareskrim Polri.
Sebelumnya Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengatakan pemeriksaan Ahok menunggu izin presiden.
Namun pakar Hukum Tata Negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra turut menegaskan dalam hal pemeriksaan terhadap Ahok tidak perlu minta izin presiden.
“Izin presiden itu ada dalam Undang-undang (UU) 32 tahun 2004 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). UU tersebut kini sudah tidak berlaku lagi. UU Pemda yang baru sudah tidak mengatur pemeriksaan kepala daerah harus ada izin Presiden. Jadi sejalan dengan putusan MK, saya merujuk pada putusan MK,” ujar Yusril kepada salam-online, Senin (24/10).
Sementara itu putusan MK menyebutkan dalam sidang pembacaan putusan pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Mahkamah menyatakan sebagian materi pasal 36 UU Pemda ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) bertentangan dengan konstitusi, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, lansir hukumonline.com.
Rumusan yang dinyatakan tidak berlaku justru mengenai izin presiden untuk pemeriksaan kepala daerah. Mahkamah Konstitusi menegaskan izin presiden untuk tahap penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana tidak dibutuhkan.
Meskipun seorang kepala daerah atau wakilnya diselidiki atau disidik, proses hukum itu tidak menghalangi yang bersangkutan menjalankan tugas.
Hanya penahanan yang membatasi ruang gerak kepala daerah, sehingga, menurut Mahkamah, izin presiden tetap dibutuhkan untuk menahan kepala daerah.
“Masih diperlukan adanya persetujuan tertulis dari presiden terhadap tindakan penahanan,” demikian Mahkamah dalam pertimbangannya.
Sebaliknya, untuk penyelidikan dan penyidikan, izin presiden tidak perlu. Mahkamah berpendapat persetujuan tertulis dari presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan kepala daerah ‘tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup’.
“Persetujuan tertulis dari presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan,” jelas Mahkamah dalam putusan.
Tak hanya menghapuskan izin presiden untuk penyidikan dan penyelidikan, Mahkamah Konstitusi juga memangkas batas waktu persetujuan tertulis dari presiden. Sebelumnya pasal 36 ayat (2) UU Pemda memberi batas waktu 60 hari bagi presiden. MK memangkas batas waktu itu menjadi 30 hari. Menurut Mahkamah, proses penegakan hukum harus sesuai dengan asas cepat, sederhana dan berbiaya ringan. (EZ/salam-online)