Dewan Pertimbangan MUI Perkuat ‘Pendapat Keagamaan’ tentang Penistaan Al-Qur’an oleh Ahok

dewan-pertimbangan-mui-5
Dewan Pertimbangan MUI menggelar pertemuan dengan sejumlah ormas Islam, Rabu (9/11), untuk membahas perkembangan kondisi keumatan dan kebangsaan terkini di Kantor MUI, Jakarta Pusat. (Foto: EZ/salam-online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Mencermati dinamika kehidupan nasional di seputar kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) paska 4 November, Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim-MUI) menggelar pertemuan dengan sejumlah ormas Islam di Kantor MUI, Rabu (9/11).

Wantim-MUI, yang keanggotaannya terdiri dari 70 Ketua Umum Organisasi-organisasi Islam dan 29 tokoh ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim itu, menyatakan turut memperkuat pendapat keagamaan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tanggal 11 Oktober 2016 tentang penistaan terhadap Islam, Al-Qur’an dan Ulama.

“Seharusnya (pendapat keagamaan MUI) menjadi rujukan utama dalam menangani proses hukum masalah dugaan penistaan agama, sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan selama ini,” demikian Taushiyah Kebangsaan Wantim-MUI yang disampaikan Ketuanya, Prof Dr HM Din Syamsuddin, di kantor MUI Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu (9/11).

Wantim-MUI juga mendukung pernyataan sikap PBNU dan PP Muhammadiyah yang merupakan pendapat dan sikap sesuai ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Baca Juga

Pendapat keagamaan tersebut, menurut Din, dikeluarkan sebagai kewajiban para ulama dalam menjaga agama dan mendorong kehidupan duniawi yang tertib, harmonis, penuh maslahat serta memelihara kerukunan hidup antar umat beragama demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Selanjutnya Prof Din menyesalkan ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Seribu.

“Ucapan tersebut jelas dirasakan umat Islam sebagai penghinaan terhadap Islam, kitab suci Al-Qur’an dan ulama. Karena memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama lain dengan memberikan penilaian dan pemahaman yang diberikan para ulama dan dengan memakai kata yang bersifat negatif, pejoratif dan mengandung kebencian,” sesalnya.

Ucapan tersebut, ujarnya, menunjukkan intoleransi dan rendahnya tenggang rasa terhadap keyakinan orang lain dan sangat potensial menciptakan kegaduhan sosial dan politik yang dapat mengarah kepada terganggunya stabilitas nasional. (EZ/salam-online)

Baca Juga