SALAM-ONLINE: Beberapa hari ini Densus 88 tengah disibukkan dengan terkuaknya “Bom Panci Bekasi” seberat 3 Kg di tempat tinggal Dian Yulia Novi di daerah Bekasi. Bom berdaya ledak tinggi yang diduga jaringan Bahrun Naim itu diberitakan menargetkan Istana Negara.
Ada beberapa catatan dan pertanyaan The Islamic Study and Action Center (ISAC) terkait temuan “Bom Panci Bekasi” ini. Pertama, “Bom Panci Bekasi” dengan daya ledak tinggi belum meledak, masih di dalam tempat tinggal Dian Yulia Novi
Kedua, jika diledakkan dalam radius 300 meter akan hancur dan kalau dinyalakan kecepatannya 4000 Km/jam. Dalam perhitungan matematika bahwa radius diartikan jari-jari, Luas lingkaran adalah, L = 3,14 x r x r yaitu 3,14 x 300 m x 300 m = 282600 meter persegi.
“Ketiga, targetnya adalah Istana, maka sasaran aksi adalah presiden dan atau kantor kepresidenan. Perlu penjelasan dari Polri mengapa pelaku menarget presiden dan atau kantor keprisedenan. Siapa yang akan diuntungkan jika Bom Meledak di Istana dan Presiden Jokowi ada di sana?” ungkap ISAC dalam rilis yang ditandatangani HM Kurniawan BW, S.Ag, SH, MH (Ketua) dan Endro Sudarsono, S.Pd (Sekretaris), Senin (12/12).
Keempat, lanjut ISAC, tidak ada kerusakan fisik, korban jiwa, kecuali penangkapan terduga pemilik, perakit maupun pihak pihak yang terkait dengan kasus “terorisme” itu.
Kelima, mencuatnya ‘Bom Bekasi’ pada 10 Desember 2016, artinya 3 hari menjelang sidang Penistaan Agama oleh Ahok dan sekitar 2 pekan menjelang perayaan Natal. Dalam catatan dan pertanyaan ISAC bahwa mengapa target “terorisme” akhir-akhir ini cenderung tidak menguntungkan pelaku, justru merugikan dirinya sendiri?
Dalam Catatan ISAC, sejumlah kasus “terorisme” justru korbannya dirinya sendiri atau bisa dikatakan target operasinya kurang signifikan.
ISAC mencontohkan sejumlah kasus seperti pelemparan bom molotov di Kalimantan dengan memakai Kaos yang bertuliskan Jihad, Isykarima Aumut Syahidan (Hidup Mulia atau Mati Syahid) yang pada akhirnya pelakunya ditangkap dengan korban 1 anak meninggal dunia.
Lalu, kasus penusukan anggota polisi di Tangerang dengan pelaku akhirnya meninggal dunia dan korbannya luka-luka. Selanjutnya kasus pelemparan bom molotov di sebuah gereja di Medan. “Pelakunya ditangkap, terdapat luka pada korban dan kerusakan kecil.”
Contoh lainnya, “Bom Bunuh Diri” di Mapolresta Surakarta. Pelakunya meninggal dunia dan satu polisi luka-luka.
Kemudian, “Bom Thamrin” di Jakarta yang meledakkan pos polisi dengan pelaku meninggal. Beberapa korbannya luka-luka dan ada pula yang meninggal.
Berikutnya, “Bom Kepunton” di Solo. Pelakunya meninggal dunia. “Tidak ada kerusakan, tidak ada korban jiwa,” ungkap ISAC.
Lantas, ada “Bom Cirebon” yang pelakunya meninggal dunia dan beberapa korban luka-luka, seterusnya pelemparan bom molotov di Gereja di Klaten yang gagal dan pelakunya ditangkap.
“Terakhir, kasus Bom di Mapolsek Pasar Kliwon (Solo) yang tidak meledak dan pelakunya berhasil ditangkap, tidak ada kerusakan dan korban,” ISAC menambahkan.
Kasus “Terorisme” di Indonesia termasuk dalam kategori Extra Ordinary Crime (Kejahatan Luar Biasa), namun, ISAC mempertanyakan, mengapa justru pelaku tertangkap atau meninggal dunia tanpa ada efek yang signifikan?
“ISAC juga meragukan kasus ‘Bom Bekasi’ terkait dengan Bahrun Naim. Perlu didalami keteribatannya, penjelasan maupun perannya. Korelasi ‘Bom Bekasi’ dengan Bahrun Naim perlu data, fakta dan bukti maupun saksi yang nantinya akan dibuktikan di pengadilan,” demikian ISAC. (s)