JAKARTA (SALAM-ONLINE): Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menggelar konferensi pers, Senin (30/1) di Jakarta, terkait kasus perampasan lahan petani di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
WALHI mengungkap konflik Agraria dan Perampasan Lahan Petani di Kutai Kertanegara oleh PT Perkebunan Kaltim Utama/PKU I (Toba Sejahtera Group) itu menyeret nama Luhut Binsar Panjaitan.
Menurut WALHI, perusahaan PT PKU I milik Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan itu menggusur 6 kelompok tani di tiga Kecamatan. Luas lahan 6 kelompok tani tersebut adalah 1.300,59 ha.
“Kehadiran perusahaan PT PKU I, sekitar tahun 2005 di tiga Kecamatan Kabupaten Kutai Kartanegara meliputi Kecamatan Muara Jawa, Loa Janan dan Sanga-Sanga. Perusahaan hadir dengan menggusur lahan-lahan produktif kelompok tani dan sebagian berada di areal perkampungan Sungai Nangka Teluk Dalam,” ungkap Direktur WALHI Kaltim Fathur Roziqin Fen dalam konferensi pers di Kantor WALHI Eksekutif Nasional, Jl Tegal Parang Utara 14, Jakarta Selatan, Senin (30/1/2017).
Perusahaan, ujarnya, melakukan penanaman kelapa sawit tanpa sosialisasi dan pembebasan tanah kepada kelompok tani atau pemilik lahan.
Karenanya, WALHI bersama Koalisi Petani dan Nelayan melakukan penolakan terhadap mafia tambang dan Sawit yang telah mengambil lahan para nelayan dan petani itu.
Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional WALHI, Fatilda Hasibuan, menyatakan bahwa selama ini bisnis perkebunan dan pertambangan merupakan industri kotor yang dipraktikkan dengan cara militeristik dan melanggar hukum.
“Praktik perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan adalah dengan melakukan pengrusakan terhadap tanam tumbuh kelompok tani,” ujar Fatilda.
Kedua perusahaan milik Luhut tersebut, kata Fatilda, tidak terlepas dari praktik ini.
”Presiden harus menertibkan jajarannya yang melanggar HAM dan merusak lingkungan hidup,” desak Fatilda.
Sementara warga yang dirampas tanahnya, menurut perwakilan kelompok tani Akmal Rabbany, hanya menuntut kampung yang sebelumnya telah dirusak oleh perusahaan itu agar dipulihkan.
“Kampung dan lahan pertanian masyarakat dikeluarkan dari HGU perusahaan dan mengembalikan tanah dan kebun petani yang sebelumnya telah dirampas paksa oleh perusahaan,” ujar Akmal.
Namun yang terjadi, menurut Akmal, bukannya memenuhi tuntutan warga, justru para petani yang memperjuangkan hak-haknya dikriminalisasi.
Fathur Raziqin menegaskan, nawacita Presiden yang berkomitmen untuk mewujudkan reformasi agraria dan kedaulatan pangan akan sulit tercapai jika kebijakan pembangunan ekonomi lainnya justru bertentangan. Menurutnya, dalam hal ini negara harus hadir untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Fathur mengingatkan, bahwa kelompok tani yang memperjuangkan hak atas tanah dan air yang dirampas oleh perusahaan, memiliki legalitas yang sah. Dalam hal ini, kata Fathur, WALHI telah memperjuangkan hak-hak petani sejak awal 2014 dengan melangkah ke ranah hukum.
“Buruknya pengelolaan dalam perizinan, mulai dari level rendah (kabupaten) hingga level atas, menyebabkan perusahaan dengan mudah melakukan penggusuran terhadap lahan petani,” sesalnya. (EZ/salam-online)