Pakar: “Penyadapan tak Boleh Dilakukan tanpa Otoritas Undang-Undang”

Irmanputra Sidin

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pakar Hukum Tata Negara Dr Irmanputra Sidin mengatakan penyadapan tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, bahkan lembaga negara pun tidak boleh melakukan penyadapan jika tidak mendapatkan otoritas oleh undang undang.

“Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan ‘Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi’,” papar Irman kepadsa redaksi, Kamis (2/2/2017).

“Oleh karenanya tindakan penyadapan (interception) termasuk di dalamnya perekaman adalah perbuatan melawan hukum karena merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain sehingga melanggar hak asasi manusia,” kata Irman.

Irman menegaskan, penyadapan yang di dalamnya, termasuk perekaman, hanya boleh dilakukan berdasarkan Undang-Undang. Bahkan dalam konteks penegakan hukum sekalipun, pemberian kewenangan penyadapan sudah seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi digunakannya penyadapan secara sewenang- wenang.

“Jikalau ada penyadapan diluar kerangka di atas maka hak tersebut adalah kejahatan terhadap konstitusi dan hak asasi manusia dan tentunya hasil penyadapannya tidak memiliki basis legalitas dan inkonstitusional,” tegasnya.

Perihal penyadapan ini mencuat di persidangan kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menghadirkan saksi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Ma’ruf Amin, Selasa (31/1).

Dalam persidangan kedelapan itu Ahok menyebut Kiai Ma’ruf melakukan pertemuan dengan pasangan cagub dan cawagub nomor urut satu Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni pada 7 Oktober 2016. Menurut Ahok, pada 6 Oktober 2016 pukul 10.16 WIB ada bukti telepon SBY kepada saksi (KH Ma’ruf Amin) terkait rencana kunjungan pasangan cagub-cawagub Agus-Sylvi ke PBNU sekaligus mengaitkannya dengan Fatwa yang berhubungan dengan Ahok dalam kasus penodaan agama.

Baca Juga

“Saudara sudah tidak pantas jadi saksi karena tidak objektif dan mengarah dukungan pada pasangan calon (nomor) satu,” kata Ahok dalam persidangan itu.

Ahok mengaku memiliki data dan bukti. “Untuk membuktikan bahwa kami memiliki data yang sangat lengkap,” ujar Ahok. Bukti itu berupa pembicaraan telepon yang disadap.

Maka, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempertanyakan rekaman yang dimiliki tim kuasa hukum Basuki `Ahok` Tjahaja Purnama tentang pembicaraannya dengan Ketum MUI KH Ma`fuf Amin itu. SBY menyebut rekaman penyadapan itu ilegal.

Menurut SBY, jika benar rekaman penyadapan itu ada, pelakunya melanggar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “UU itu terbit di era saya. Ada pasal-pasal yang melarang seseorang melakukan penyadapan,” kata SBY, Rabu 1/2/2017.

Dia mengungkapkan, sesuai UU 11/2008 Pasal 31, seseorang yang tidak memiliki kewenangan `menguping` dapat dipidana penjara 10 tahun dan denda Rp800 juta. “Konstitusi kita melarang penyadapan ilegal. Saya mohon, kalau pembicaraan saya dengan Ma`ruf Amin disadap, saya harap polisi, jaksa, dan pengadilan menegakkan hukum sesuai UU ITE,” ujar SBY.

SBY menegaskan, polisi tidak perlu menunggu aduan dirinya untuk menyelidiki dugaan penyadapan itu. Sebab, kasus itu bukan delik aduan. “Tidak perlu menunggu laporan saya. Ini delik aduan. Sebagai rakyat biasa, mohon hukum ditegakkan,” tegasnya. (EZ/salam-online)

Baca Juga