Dituduh Lakukan Pencucian Uang, Adnin: Saya ‘Meminjamkan’ Rekening, bukan ‘Meminjamkan’ Uang

Diskusi Publik ‘Kriminalisasi Pengelolaan Dana Kemanusiaan’ di Ruang Senat Fakultas Hukum UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (16/3). (Foto: EZ)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Diskusi publik bertema ‘Kriminalisasi Pengelolaan Dana Kemanusiaan di Indonesia’ di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat dihadiri oleh berbagai tokoh seperti Dr Yunus Husein, SH, LL.M (Pakar Anti Tindak Pidana Pencucian Uang), Adnin Armas, MA (Ketua Yayasan Keadilan untuk Semua), Dr Yetty K. Dewi, SH, M.Li (Pakar Hukum Yayasan), Heru Susetyo, SH, LL.M, M.SI, Ph.D (Pakar Anti Terorisme) dan drg. Imam Rullyawan, MARS (Dirut Dompet Dhuafa Filantropi).

Dalam diskusi tersebut, Adnin Armas, MA, memaparkan fakta mengenai dirinya atas tuduhan yang disematkan oleh Kapolri saat rapat dengan Komisi III DPR RI.

Ketika dipanggil oleh pihak Bareskrim Mabes Polri sebagai Saksi, ia dituduh dengan pasal 3 dan pasal 5 atau pasal 6 UU nomor 8 tahun 2010 tentang pasal pencucian uang.

“Saat itu saya dipanggil sebagai saksi dalam pasal 3 atau pasal 5 atau pasal 6 UU nomor 8 tahun 2010 tentang pasal pencucian uang. Saya dianggap melanggar lima pasal. Tiga pasal lain terkait dengan penggelapan, penyalahgunaan dan UU perbankan,” ujar Adnin dalam diskusi publik ‘Kriminalisasi Pengelolaan Dana Kemanusiaan’ di Ruang Senat Fakultas Hukum UI, Depok, Kamis (16/3).

Adnin menceritakan ketika diperiksa polisi, ia menegaskan bahwa yang dilakukannya adalah “meminjamkan rekening”, bukan “meminjamkan uang” seperti yang tercantum dalam pasal pencucian uang.

“Saat diperiksa saya sampaikan bahwa saya melakukan peminjaman rekening, bukan meminjam uang, ini keliru,” katanya.

Baca Juga

Adnin yang menguasai dan menekuni beberapa bahasa asing seperti Bahasa Arab, Inggris, Latin dan Jerman ini mengakui pada saat Aksi Bela Islam 411 hendak berlangsung, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) menghubungi dan memintanya untuk meminjamkan rekening ‘Yayasan Keadilan untuk Semua’ untuk menampung dana sumbangan umat Islam yang jumlah pengirimnya lebih dari lima ribu orang dengan dana terkumpul Rp 6 Miliar.

“Saya bergerak di belakang layar, namun tetap dituduh melakukan tindak pidana pencucian uang atas nama ‘Yayasan Keadilan untuk Semua’. Yayasan tersebut selama ini digunakan GNPF-MUI untuk menampung donasi kaum Muslimin. Bahkan ada salah seorang penderma paling banyak adalah seorang jamaah yang mentransfer sebesar 100 juta rupiah,” jelasnya.

Adnin menerangkan, setelah memberikan rekening dan buku tabungan kepada GNPF, ia sudah tidak mengerti lagi di mana letak pencucian uang tersebut. Ia mengaku bingung dan belum paham mengapa ia dituduh terlibat pidana pencucian uang.

“Saya tidak paham waktu itu, benar-benar nggak paham, terus terang saya bingung. Rekening kan boleh saja dipinjamkan, rahim saja bisa dipinjamkan untuk bayi tabung, masak pinjam rekening saja nggak bisa,” seloroh Adnin.

Pimpinan majalah Gontor itu mengungkapkan perlu diadakan reformasi hukum di Indonesia, karena tuduhan tersebut masih belum terindikasi secara jelas dan tepat.

“Reformasi hukum diperlukan. Di depan mata banyak yang tidak beres. Yang fitnah dilegalkan, yang benar mungkin disalahkan,” tutup Adnin. (EZ/salam-online).

Baca Juga