Front Mahasiswa Islam Nilai RUU ‘Terorisme’ Merusak Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Ketua Front Mahasiswa Islam (FMI) Ali Alatas memberikan ‘Position Paper’ terkait Rancangan Perubahan UU ‘Terorisme’ kepada Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, di Gedung Nusantara III, Jakarta, Rabu (15/3). (Foto: MNM/salam-online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Salah satu organisasi sayap Front Pembela Islam (FPI), Front Mahasiswa Islam (FMI), menilai rancangan perubahan Undang-Undang Terorisme yang diajukan Polri bersama permerintah ke DPR, didapati beberapa pasal yang bersifat perluasan kewenanangan, sangat berpotensi melahirkan Abuse of Power (penyalahgunaan kekuasaan) dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga merusak sistem Peradilan Pidana Indonesia.

“Dengan kewenangan yang sudah diberikan oleh UU yang sekarang berlaku saja sudah terjadi pelanggaran HAM. Terlalu banyak pasal redundant (mubazir/tak perlu, red), terlalu banyak kewenangan yang overlapping, sehingga merusak sistem Peradilan Pidana Indonesia,” kata Ketua Front Mahasiswa Islam, Ali Alatas, dalam Diskusi Publik & Press Gathering bertajuk ‘Memastikan Penanggulangan Terorisme Sesuai HAM’ di Gedung Nusantara III DPR-RI, Senayan, Jakarta, Rabu (15/3).

Ali juga mengungkapkan bahwa praktik penanganan “terorisme” oleh Densus 88 khususnya, kerap merugikan umat Islam. Karena itu, kata dia, FPI merasa berkepentingan untuk mengadvokasi, agar hukum tidak digunakan sewenang-wenang oleh penguasa.

Baca Juga

“Makanya FPI aktif melakukan Advokasi terhadap RUU ‘Terorisme’, melakukan Rapat dengar pendapat di Pansus ‘Terorisme’. Kita pun melakukan kajian yang menghasilkan Position Paper, Daftar Inventaris Masalah, dan Counter Legal Draft RUU ‘Terorisme’, bagaimana caranya supaya umat Islam tidak dizalimi,” ungkap Ali.

Sementara itu, menurut catatan Komnas HAM, setidaknya ada sebanyak 121 kasus pelanggaran HAM yang dilakukan olen Densus 88 Anti Teror. Pelanggaran HAM itu mencakup kematian orang tanpa melalui pengadilan, berbagai tindak penyiksaan, penahanan dan penangkapan tanpa disertai dengan surat resmi dan lain sebagainya.

Kasus pelanggaran HAM terakhir yang dilakukan oleh Densus 88, menurut Komnas HAM, adalah kematian Siyono yang masih berstatus terduga “teroris”. Atas kematian itu, menurut Komnas HAM dan PP Muhammadiyah, Densus juga melakukan tindakan gratifikasi dengan memberi uang kepada Suratmi, istri Siyono sebanyak Rp 100 juta, namun Suratmi menolak pemberian itu. (MN Malisye/salam-online)

Baca Juga