Islam dengan Kehidupan Sosial dan Politik tak Mungkin Dipisahkan

–CATATAN PROF YUSRIL IHZA MAHENDRA–

SALAM-ONLINE: Modernisme Islam adalah sebuah ideologi politik yang dirumuskan kaum modernis untuk menjadi basis bagi sebuah gerakan politik.

Kaum modernis meyakini dan menerima Islam sebagai ajaran yang bersifat universal, berlaku sebagai petunjuk bagi umat manusia sepanjang zaman.

Sebagai ajaran universal, maka dalam penataan kehidupan masyarakat, ajaran Islam memberikan petunjuk-petunjuk yang bersifat umum, tidak detil. Hal itu diyakini sebagai kebijaksanaan Ilahi, agar Islam mampu menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.

Dalam menghadapkan Islam dengan tantangan zaman itu, kaum modernis menggalakkan ijtihad, mendorong tumbuhnya pemikiran baru.

Tiap zaman akan memiliki tantangan yang berbeda, karena itu pemikiran harus tetap terbuka, tidak terkungkung oleh warisan tradisi masa lalu. Karena itu kaum modernis bersikap lebih fleksibel untuk melakukan dialog antar pemikiran dengan berbagai peradaban yang berbeda.

Kaum modernis tegas menolak sekularisme, karena agama dengan kehidupan sosial dan politik tidak mungkin dipisahkan.

Islam mencakup segalanya. Islam tidak hanya berurusan dengan akhirat, tetapi juga berurusan dengan kehidupan duniawi yang tak mungkin dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Perjuangan politik memerdekakan dan memajukan bangsa dipandang kaum modernis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan menegakkan Islam. Di zaman penjajahan, kaum modernis merumuskan ideologi politik yang total bersikap anti penjajahan dengan titik tolak ajaran Islam.

Modernisme Islam melihat bahwa masyarakat itu majemuk secara eksternal maupun internal. Kemajemukan harus dihargai dan dihormati.

Modernisme Islam menganggap Islam tidaklah membentuk sistem dalam bidang apapun. Islam memberi petunjuk, manusia berijtihad membangun sistem.

Sistem dianggap sebagai sesuatu yang fleksibel, tergantung pada kebutuhan zaman. Yang diajarkan Islam adalah prinsip, penerapan diserahkan kepada ijtihad.

Karena itu kaum modernis berpendapat bahwa tidak ada satu model negara yang diajarkan Islam. Model bisa beda, sepanjang prinsip diterapkan.

Baca Juga

Prinsip-prinsip itu di antaranya adalah keadilan, hukum harus ditegakkan, syura dilaksanakan dan kepentingan umum wajib diutamakan.

Struktur negara juga diserahkan kepada kebutuhan zaman dan kebutuhan nyata sebuah bangsa, sepanjang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.

Kaum modernis menerima demokrasi yang oleh M Natsir disebut sebagai theistic democracy, demokrasi yang didasarkan atas nilai-nilai keagamaan.

Demokrasi dianggap sebagai implementasi konsep syura yang dijiwai semangat Islam. Struktur pemerintahan bisa parlementer bisa presidensial. Bisa pula menerima monarki konstitusional, sepanjang menjalankan konsep syura sebagaimana diajarkan Islam.

Ketika saya membaca Rancangan UUD yang disiapkan Masyumi untuk dibahas di Konstituante, saya tidak melihat perbedaan struktural dengan UUDS 1950. Mereka ajukan alternatif Negara Republik Islam Indonesia atau Negara Republik Indonesia berdasarkan Islam.

Namun rancangan itu siap untuk dibahas dan mencari titik temu dengan semua kekuatan politik di Konstituante. Sayang Konstituante dibubarkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kita kembali ke UUD 1945.

Ideologi modernisme Islam seperti dianut Masyumi itu tetap hidup di negara kita ini dengan segala macam wujud dan bentuknya.

Partai Bulan Bintang meneruskan ideologi modernisme Islam itu dengan memperhatikan zaman yang berubah, dibanding zaman Masyumi dahulu. Para pendukung ideologi modernisme Islam tetap bercita-cita Indonesia menjadi negara yang modern dan maju.

Indonesia yang majemuk dan demokratis, hidup damai dan harmoni. Sementara Islam tetap memberikan inspirasi dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.

Spirit Islam akan terus memberikan inspirasi dan menyemangati kehidupan bangsa dan negara dan membawa manfaat bagi seluruh warga bangsa.

-Penulis adalah Pakar Hukum Tata Negara

Baca Juga