Hari Kebangkitan Nasional Seharusnya 16 Oktober, bukan 20 Mei?
CATATAN AGUNG PRIBADI
–HISTORIVATOR–
SALAM-ONLINE: Tanggal kelahiran siapa yang pantas untuk ditetapkan sebagai hari kebangkitan nasional, apakah tanggal 16 Oktober 1905 (hari kelahiran Sarekat Islam) ataukah 20 Mei 1908 sebagai hari kelahiran Boedi Oetomo?
Ya! Tanggal 16 Oktober 1905 adalah tanggal kelahiran Sarekat Islam (SI). Memang, selama ini di dalam buku-buku sejarah terutama versi pemerintah disebutkan bahwa kelahiran Sarekat Islam adalah tahun 1911 berdasarkan tanggal Sarekat Islam berdiri sebagai badan hukum yang diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Padahal organisasi itu sudah berdiri lama.
Ada sebuah buku baru dari seorang sejarawan UNAS Dr Syafrizal Rambe yang menulis bahwa organisasi Sarekat Islam sudah berdiri sejak 16 Oktober 1905 yang saat itu masih berupa ide-ide, ya semacam OTB (organisasi tanpa bentuk)-lah.
Sekarang mari kita bandingkan:
Sarekat Islam berdiri terlebih dahulu ketimbang Boedi Oetomo. Statuta Sarekat Islam dan bahasa pengantar Sarekat Islam adalah bahasa Melayu.
Statuta dan bahasa pengantar Boedi Otomo adalah bahasa Belanda.
Sarekat Islam masih berdiri dan masih aktif ketika Indonesia merdeka, berarti mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan.
Boedi Oetomo membubarkan diri tahun 1935, berarti tidak mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan.
Sarekat Islam cabangnya ada di seluruh Indonesia, anggota dan pengurusnya berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Haji Agus Salim dan Abdul Moeis dari Minang, Tjokroaminoto dari Jawa, AM Sangaji dari Maluku.
Boedi Oetomo anggota dan pengurusnya hanya dari Jawa dan Madura dan sedikit dari etnis Sunda.
Sarekat Islam mencita-citakan dan menuntut Indonesia merdeka dan berhaluan non kooperatif terhadap penjajah. Karena itu pengurusnya banyak dipenjara dan dibuang ke Digul, tempat pembuangan paling menyeramkan saat itu karena banyak yang meninggal akibat malaria.
Sarekat Islam juga yang pertama memperkenalkan istilah Nasional (National). Boedi Oetomo mencita-citakan bukan kemerdekaan Indonesia melainkan kemakmuran Jawa Raya di bawah Uni Jawa-Belanda.
Boedi Oetomo berhaluan kooperatif atau bekerjasama dengan penjajah Belanda. Kongres-kongresnya sering dihadiri, dibuka dan diresmikan oleh perwakilan pemerintah Hindia Belanda.
Pengurus-pengurus Boedi Oetomo mayoritas adalah para birokrat yang bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1928 Boedi Oetomo menolak ide persatuan Indonesia dan menolah Sumpah Pemuda.
Dalam Kongres Pemuda Kedua tanggal 28 Oktober 1928 bahkan Boedi Oetomo diwakili oleh Polisi Pemerintah Penjajahan Belanda yang sebenarnya ditugaskan memata-matai Kongres Pemuda Kedua.
Jadi sebenarnya yang pantas dijadikan Hari Kebangkitan Nasional adalah kelahiran Sarekat Islam 16 Oktober 1905, bukan 20 Mei 1908. Apalagi pada saat itu Islam = Pribumi.
Seorang pelaku sejarah yang kemudian menjadi sejarawan yaitu AK Pringgodigdo mengatakan bahwa pelopor kebangkitan nasional adalah Sarekat Islam, bukan Boedi Oetomo karena Sarekat Islam lebih bersifat nasional dibanding Boedi Oetomo yang bersifat Jawa Sentris (Lihat AK Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1994, hal. 2).
Padahal oleh banyak sejarawan AK Pringgodigdo disebut sebagai sejarawan dan pelaku sejarah dengan aliran nasionalis sekuler, bukan aliran Islam. Apatah lagi pendapat dari pelaku sejarah dan sejarawan dari kelompok Islam seperti KH Firdaus AN dalam bukunya ‘Syarikat Islam bukan Boedi Oetomo: Meluruskan Sejarah Perjuangan Bangsa’ (Jakarta: Datayansa, 1997, hal 6).
Juga Ahmad Mansyur Suryanegara dalam bukunya ‘Api Sejarah’ Jilid I (Bandung: Salamadani, 2010). Beberapa sejarawan asing juga mengungkapkan pendapat yang sama seperti Takashi Shiraishi, George Mc Turnan Kahin, MC Ricklefs, Hans van Miert.
Bung Karno, Presiden Pertama RI dalam pidato memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1950 mengatakan bahwa keputusan menetapkan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei ini adalah keputusan terbaik pada saat itu, tetapi setiap 10 tahun sekali hendaknya ditinjau ulang oleh pemerintah karena belum tentu sesuai.
Nyatanya sampai sekarang keputusan itu tidak pernah ditinjau ulang. Kalau pemerintah tidak pernah mau meninjau ulang, maka sebagai Warga Negara bisa mengambil alih tugas dan amanat presiden untuk meninjau ulang keputusan penetapan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.