Peneliti Aljazeera: Konflik di Teluk-Arab bukan karena Qatar Mendukung Gerakan ‘Terorisme’
SALAM-ONLINE: Peneliti Aljazeera Centre for Studies (AJCS), Jamal Abdullah, menilai konflik antara Qatar dengan negara-negara Teluk-Arab seperti UAE, Arab Saudi, Bahrain dan Mesir bukanlah karena Qatar mendukung gerakan “terorisme” seperti yang telah dituduhkan.
Menurut Jamal, sebenarnya konflik antara Qatar dan Saudi berawal sejak 23 tahun yang lalu, saat Syaikh Khalifa bin Hamad Al Thani <https://id.wikipedia.org/wiki/Khalifa_bin_Hamad_Al_Thani>, kakek dari Emir Qatar saat ini (Syaikh Tamim bin Hamad Al Thani) <https://id.wikipedia.org/wiki/Tamim_bin_Hamad_Al_Thani> mulai menjadikan Qatar tidak lagi berada di bawah pengaruh Saudi.
“Dulu Qatar hanya negara kecil di bawah naungan abaya (pengaruh) Arab Saudi,” kata Jamal dalam diskusi publik berjudul ‘Krisis Qatar, Apa dan Siapa yang Bermain?’ di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI), Rabu (5/7).
Usaha Syaikh Khalifa bin Hamad menjadikan Qatar tidak lagi bergantung kepada Saudi adalah dengan melejitkan 3 strategi utama. Pertama, Qatar membangun citra lewat media, pendidikan dan bergabung dengan berbagai klub antarnegara di Eropa dan dunia. Di antaranya adalah turut sertanya Qatar dalam Football Association dan FIFA World Cup.
Kedua, Qatar mulai bekerjasama dengan negara-negara besar dunia seperti Turki, AS dan Inggris. Ketiga, Qatar membangun hubungan baik dengan negara tetangga.
“Tiga strategi ini berhasil memunculkan nama Qatar di antara deretan negara lainnya, sekaligus menjadikan Saudi berang karena Qatar tak lagi berada di bawah naungan abaya,” terang Jamal.
Selain itu, menurut Jamal, embargo yang dilakukan Saudi dan tiga negara sekutunya, tidak terlalu merugikan Qatar, khususnya dalam bidang ekonomi. Justru, kata dia, hal ini akan mengganggu ekspor produk empat negara tersebut ke Qatar.
“Selama ada suplai kebutuhan dari Turki, saya tidak percaya embargo ini akan efektif untuk Qatar,” ungkapnya.
Oleh karenanya, dia memprediksi embargo yang dilakukan terhadap Qatar tidak akan berlangsung lama. Akan tetapi lebih lama dari konflik sebelumnya pada 2014 yang berlangsung selama 8 bulan.
“Saya kira akan lebih dari 8 bulan, tapi tak sampai setahun,” ujarnya memprediksi. (Nizar Malisy/Salam-Online)