Setelah UU Pemilu Ditandatangani Presiden, Yusril Akan Lakukan Perlawanan ke MK

Perlawanan terhadap Presidential Threshold ke MK ini, ujar Yusril, adalah jalan konstitusional terakhir yang dapat ditempuh. Tidak ada jalan lain lagi di luar hukum dan konstitusi yang dapat dilakukan setelah fraksi-fraksi yang menentang Presidential Threshold kalah suara di DPR.

Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, SH, M.Sc

SALAM-ONLINE: Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra menanggapi beberapa pertanyaan wartawan tentang kapan dan apa saja yang diuji materikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) paska DPR memutuskan menerima RUU Penyelenggaraan Pemilu Kamis (20/7) malam dan Jumat (21/7) dini hari lalu.

“Saya katakan, saya secepatnya akan lakukan uji materil ke MK. Namun saya harus menunggu disahkannya UU tersebut, dalam arti ditandatangani presiden, dinomori dan dimuat dalam lembaran negara,” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Ahad (23/7).

Menurut Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini, tanpa selesainya proses itu, pendaftaran pengujian UU belum bisa dilakukan. Kalau pengesahan RUU ini selesai pekan depan, maka pekan depan itu juga pendaftaran permohonannya ke MK akan dilakukan.

“Saya akan fokus menguji pasal-pasal tentang Presidential Threshold, yang akan saya lakukan atas nama saya sendiri sebagai pemohon. Insya Allah saya mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang, karena partai saya, PBB, telah memutuskan untuk mendukung saya maju ke pencalonan presiden tahun  2019 nanti,” ujar mantan Menkumham ini.

Masalah ini nantinya, kata Yusril, akan terhambat dengan adanya ketentuan Presidential Threshold 20-25 persen. Hambatan ini kekungkinan besar akan dihadapi oleh semua bakal calon lain seperti Prabowo Subianto yang akan dicalonkan Gerindra atau Agus Harimurti Yudhoyono yang potensial dicalonkan oleh Partai Demokrat.

“Proses pencalonan oleh PBB itu akan terhambat dengan adanya ketentuan Presidential Threshold 20-25 persen. Hambatan ini, bukan saja terhadap saya pribadi,” ungkapnya.

Ia menilai, Presidential Threshold 20-25 persen seperti itu, nampaknya didesain untuk hanya memunculkan calon tunggal, Joko Widodo. Jokowi diperkirakan akan didukung oleh PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura dan PAN.

Sementara dukungan terhadap Prabowo Subianto yang didukung oleh Gerindra dan PKS kemungkinan besar tidak akan mencapai angka 20 persen. Begitu pula Partai Demokrat, sendirian, juga akan sulit mendapatkan threshold 20 persen.

Baca Juga

“PBB tentu akan lebih sulit lagi dibanding partai-partai yang lain,” ujar mantan Mensesneg ini.

Menurutnya, angka 20 persen mungkin dapat dicapai apabila Demokrat, Gerindra dan PKS bergabung. Namun dari pengalaman selama ini hampir mustahil SBY  akan bergabung dengan Gerindra mendukung Prabowo Subianto.

Jadi, menurut Yusril, Presidential Threshold 20 persen memang harus dilawan untuk menghindari munculnya calon tunggal, Joko Widodo.

“Calon tunggal seperti itu bukan saja tidak baik bagi perkembangan demokrasi, tetapi juga akan menimbulkan persoalan konstitusionalitas. UUD 45 paska amandemen nampaknya mengisyaratkan pasangan calon presiden/wakil presiden lebih dari sepasang,” tandasnya.

Perlawanan terhadap Presidential Threshold ke MK ini, ujar Yusril, adalah jalan konstitusional terakhir yang dapat ditempuh. Tidak ada jalan lain lagi di luar hukum dan konstitusi yang dapat dilakukan setelah fraksi-fraksi yang menentang Presidential Threshold kalah suara di DPR.

“Karena itu, saya sangatlah berharap MK akan bersikap benar-benar objektif dan akademik menangani perkara yang sarat dengan kepentingan politik yang sangat besar ini,” jelas Yusril.

Selain itu, MK pun diharapkan agar memutus segera permohonan ini sebelum bulan Oktober 2017, ketika tahapan Pemilu 2019 telah dimulai. Kalau MK terlambat atau sengaja melambat-lambatkannya, meskipun permohonan ini dikabulkan nantinya, maka putusan itu belum tentu dapat dilaksanakan untuk Pemilu 2019.

Akhirnya, menurut Yusril, putusan itu akan sama dengan putusan MK tentang pemilu serentak. Putusan diambil tahun 2014, namun Ketua MK ketika itu, Hamdan Zulva, membacakan putusan dengan mengatakan pemilu serentak baru dilaksakan tahun 2019.

“Sementara aturan pemilu tidak serentak itu sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 45 oleh MK sebelum pelaksanan Pemilu 2014. Ini adalah sebuah anomali dan keanehan putusan MK yang tidak usah diulang lagi,” tutupnya. (EZ/Salam-Online)

Baca Juga