Krisis Multidimensi di Myanmar, Utusan PBB: Ini Malapetaka Bangsa Itu

Kepala Misi Pencari Fakta (TPF) Rohingya Utusan PBB Marzuki Darusman (tengah) saat menghadiri konferensi pers di Gedung HDI Hive, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (3/9/2017) kemarin. (Foto: al-Fath/Salam-Online) 

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Dalam sebuah jumpa pers dengan wartawan, Kepala Misi Pencari Fakta (TPF) Rohingya Utusan PBB Marzuki Darusman menjelaskan bahwa Myanmar saat ini tengah menghadapi krisis multidimensi.

Ia menjelaskan, dalam memahami motif kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan tentara pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya tidak dapat hanya dililhat secara kasuistik, atau berdasarkan kejadian di lapangan. Namun, permasalahan Rohingya memiliki latar belakang cukup kompleks yang mengikuti di belakangnya.

“Saya berbicara sebagai orang Indonesia. Saya memahami betul dimensi-dimensi dari persoalan yang dihadapi oleh Myanmar. Ini merupakan malapetaka dari bangsa itu,” ucap Marzuki di Sekretariat Amnesty International Indonesia (AII), di Gedung HDI Hive, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (3/9/2017) kemarin.

Penugasan Marzuki beserta tim lainnya berangkat dari laporan yang dirilis Komisi Penasihat untuk Negara Bagian Rakhine yang dipimpin langsung oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan. Dalam laporan tersebut, diungkap berbagai kondisi yang terjadi di Rakhine—wilayah yang dihuni sekita 1,1 juta Muslim Rohingya—serta adanya krisis pembangunan, HAM, serta krisis keamanan.

Dari laporan tersebut, digambarkan bagaimana negara bagian Rakhine ibarat wilayah yang begitu terabaikan. Di antaranya adalah kemisikinan ekstrem yang diderita semua penduduk Rakhine, tertinggal dalam hampir semua aspek kehidupan, ancaman serangan dari militer, konflik yang berkepanjangan, serta minimnya peluang untuk membangun ekonomi merupakan sedikit dari kondisi memprihatinkan yang dihadapi kelompok minoritas di Myanmar itu.

Baca Juga

Padahal, dengan jumlah penduduk Rakhine yang diperkirakan sebesar 1,1 juta orang itu dapat dimanfaatkan sebagai penunjang ekonomi yang cukup potensial dalam agenda pembangunan. Namun sangat disayangkan, dari laporan itu disebutkan bahwa Muslim Rohingya begitu dibatasi ruang gerak dan lingkupnya sehingga percepatan pembangunan yang berdampak pada lonjakan ekonomi tidak pernah terwujud.

Yang lebih ironis lagi adalah ditemukannya fakta bahwa Rakhine merupakan wilayah yang berlimpah akan hasil bumi seperti minyak dan gas alam. Di Kyawkpyuh—masih di Rakhine—terdapat investasi sektor privat untuk pengelolaan minyak dan gas. Namun, hal itu tidak juga menjadi peluang bagi Muslim Rohingya maupun penduduk Rakhine lainnya untuk mencicipi kesempatan kerja di wilayah yang mereka tempati dari generasi ke generasi itu.

Keprihatinan di atas baru sedikit dari aspek bermasalah lainnya yang berdasarkan laporan itu, juga menjadi motif berlangsungnya krisis kemanusiaaan di Rakhine. Sekalipun laporan ini tidak menyoroti secara khusus tindak pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya, namun, menurut Marzuki, pemerintah maupun komunitas peduli Rohingya lainnya perlu melihat laporan yang disusun selama kurang lebih satu tahun di wilayah konflik itu.

“Pelajarilah laporan Kofi Annan ini dengan seksama, karena menggambarkan keadaan tidak hanya di Rakhine state, tetapi secara keseluruhan,” ujarnya. (al-Fath/Salam-Online)

Baca Juga