JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pada Senin (18/9) sebagaimana pantauan Salam-Online, kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, nampak sepi. Tidak terlihat ada aktivitas di sana. Dengan pintu gerbang terkunci, beberapa orang yang masuk gedung kantor pun terpaksa harus meloncat pagar.
Ya, YLBHI, memang meliburkan aktivitasnya di gedung itu, pasca bentrokan massa yang mendemo digelarnya Seminar ‘Pengungkapan Sejarah 1965’ pada Sabtu (16/9) yang, menurut pengunjuk rasa, berbau PKI. Belum diketahui, sampai kapan YLBHI meliburkan aktivitasnya di gedung itu.
Sejumlah polisi pun masih berjaga-jaga di sana. Beberapa panser yang digunakan untuk membubarkan massa pada Ahad malam, masih terparkir di lapangan bola yang terletak 50 meter sebelah timur kantor LBH.
Arus lalu lintas di Jalan Diponegoro menuju Salemba pun terpantau normal. Beberapa atribut polisi dan batu-batu yang berserakan akibat bentrokan terlihat dirapikan.
Rusuh dan bentrokan berawal, saat massa gabungan yang menamakan Aliansi Mahasiswa Peduli Hukum mendatangi Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jalan Diponegoro, Jakarta, pada Sabtu (16/9) untuk memprotes Seminar ‘Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66’. Mereka menuntut dibubarkannya seminar tersebut karena dianggap akan membangkitkan PKI.
Acara di LBH itu pun dibubarkan polisi, meskipun menurut pihak pengunjuk rasa, malam harinya acara digelar. Dan, pada Ahad (17/9) sore hingga malamnya panitia kembali melanjutkan acara yang diduga massa, tetap berbau PKI.
Pihak panitia sendiri mengaku mereka menggelar acara seni dan hiburan yang bertajuk “Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi”. Acara itu sebagai bentuk protes atas dihentikannya secara paksa oleh kepolisian diskusi tentang Sejarah 65 di Gedung YLBHI itu.
Namun massa menyebut lagu Genjer-genjer yang selama ini diasosiasikan sebagai lagu propaganga PKI, dinyanyikan pada acara ‘pentas seni’ tersebut, meski panitia membantahnya. Pihak pemrotes juga menyebut ada anak tokoh PKI dalam acara itu.
Selepas acara usai, tepatnya pukul 21.30 massa yang kecewa lantaran acara yang diduga sebagai acara PKI itu tetap digelar, akhirnya kembali datang menggeruduk kantor LBH. Bentrokan pun terjadi antara massa dengan polisi. Hingga Senin dini hari, sekitar pukul 02.00 WIB, barulah massa bubar.
Lima polisi dilarikan ke rumah sakit. Dari pihak pengunjuk rasa, termasuk sejumlah warga juga dirawat di rumah sakit akibat kena tembakan gas air mata. Selain itu, menurut Kapolda Metro Jaya Irjen (pol) Idham Azis, 22 orang yang diduga provokator diamankan pada Senin (18/9).
Belakangan Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat melepaskan 22 orang tersebut.
“Hari ini, saudara kita yang 22 orang itu dikembalikan ke rumah masing-masing,” ujar Wakil Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat AKBP Asep Guntur Rahayu kepada wartawan, Selasa (19/9/2017).
Penyidik, kata Asep, merasa telah cukup memintai keterangan Ke-22 orang tersebut.
Sebelumnya polisi mengamankan 34 orang yang diduga sebagai provokator penyerangan di kantor YLBHI. Sebanyak 22 orang diperiksa di Mapolres Jakarta Pusat. Dan 12 orang lagi di Mapolda Metro Jaya.
Dalam rilis yang diterima redaksi, Ketua Umum YLBHI Asfinawati, Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa, dan Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhamad Isnur, ketiganya membantah tuduhan bahwa YLBHI mengadakan acara terkait PKI. Mereka juga menganggap massa yang datang memprotes sebagai bentuk penyerangan yang sistematis.
“Jelas hoax atau berita-berita bohong telah disiarkan, propaganda tuduhan yang mengada-ada telah diviralkan,” demikian pernyataan YLBHI.
“Instruksi-instruksi untuk menyerang LBH dilakukan secara sistematis dan meluas bahwa (diskusi) ini acara PKI, menyanyikan lagu ‘Genjer-genjer’ dan lain-lain, padahal sama sekali tidak ada,” lanjut keterangan tersebut.
Sementara Ketua Bidang Dakwah GPII yang juga Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi Pembubaran Acara di LBH, Nanang Kosim, merasa yakin bahwa acara tersebut berkaitan kuat dengan PKI/Komunisme dan sebagai upaya adu domba antar anak bangsa.
“Kami menolak demi marwah dan wibawa Negara Kesatuan Republik Indonesia serta wibawa TNI dan Polri. Jika tetap terselenggara, nanti dituduhlah pelakunya (peristiwa 1965 itu) adalah orde baru dan TNI AD. Artinya, mereka membuat diskusi untuk mengadu domba antar anak bangsa, mereka sengaja membuat itu,” ujar Nanang Kosim kepada Salam-Online, Senin (18/9). (MNM/Salam-Online)