PBB Kembali Desak Myanmar Hentikan Operasi Militer terhadap Muslim Rohingya
SALAM-ONLINE: Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan Dewan Keamanan PBB kembali mendesak pemerintah Myanmar agar mengakhiri operasi militernya terhadap Muslim Rohingya.
Membahas krisis tersebut, 15 anggota Dewan Keamanan PBB menggelar pertemuan tertutup pada Rabu (13/9) untuk kedua kalinya atas permintaan Swedia dan Inggris.
Berbicara menjelang pertemuan tersebut, Antonio Guterres menyebut situasi bagi pengungsi Rohingya sebagai “bencana” yang “sama sekali tidak dapat diterima”. Guterres mengatakan bahwa kelompok minoritas Rohingya telah dibersihkan secara etnis di negara mayoritas Buddhis tersebut.
Menurut PBB, lebih dari 370.000 warga minoritas Muslim Rohingya di Myanmar telah meninggalkan negara bagian Rakhine di negara itu. Mereka menyelamatkan diri ke negara tetangga Bangladesh dalam beberapa pekan terakhir.
“Saya meminta pihak berwenang Myanmar untuk menghentikan tindakan militer, mengakhiri kekerasan, menjunjung tinggi supremasi hukum dan mengakui hak untuk mengembalikan semua orang yang meninggalkan negara tersebut,” kata Guterres pada konferensi pers di New York seperti dilansir Aljazeera, Kamis (14/9).
Komentar Guterres bercermin pada pernyataan Kepala Bidang HAM PBB Zeid Ra’ad al-Hussein, Senin (11/9), yang mengecam situasi di Myanmar sebagai “contoh buku teks tentang pembersihan etnis”.
Rosiland Jordan dari Aljazeera, yang melaporkan dari markas besar PBB, mengatakan bahwa masih harus dilihat apakah Dewan Keamanan dapat melakukan tindakan dari sudut pandang praktis setelah pertemuan Rabu kemarin.
“Ada banyak kekhawatiran di sini, di PBB, tentang krisis yang sedang berlangsung,” katanya. “Pertanyaannya adalah siapa yang bisa dimintai pertanggungjawaban dan dapatkah situasi teratasi dengan cepat atau apakah akan ada malapetaka kemanusiaan lain yang muncul (terungkap).”
Dewan Keamanan “menyatakan keprihatinannya atas laporan tentang kekerasan yang berlebihan selama operasi keamanan dan meminta langkah segera untuk mengakhiri kekerasan di Rakhine, mengurangi situasi, menegakkan hukum dan ketertiban, memastikan perlindungan warga sipil … dan menyelesaikan masalah pengungsi”.
Duta Besar Inggris untuk PBB, Matthew Rycroft mengatakan bahwa ini adalah pernyataan pertama dari Dewan Keamanan untuk Myanmar dalam sembilan tahun terakhir.
Ini terjadi saat pemimpin nasional Myanmar Aung San Suu Kyi membatalkan kehadirannya dalam rapat di Majelis Umum PBB pekan depan. Padahal Suu Kyi diagendakan untuk memberikan pidato pertamanya terkait situasi (kekerasan) di Myanmar.
Suu Kyi banyak dikecam sehingga membuat reputasi peraih Nobel Perdamaian itu kepemimpinannya secara moral dinilai tak menunjukkan belas kasihannya dalam menghadapi tragedi yang dialami Muslim Rohingya. (S)
Sumber: Aljazeera