13 Tahun Tragedi Tak Bai: Pembunuhan Massal di Thailand Selatan, Muslim Patani Tuntut Keadilan

Militer Thailand menangkapi ribuan Muslim Patani, Thailand Selatan, 25 Oktober 2004, bertepatan dengan bulan Ramadhan 1425 H, mereka dipaksa melepaskan baju, tiarap dan merangkak dengan tangan terikat ke atas menuju truk, sedikitnya 78 orang meninggal dalam perjalanan selama 5 jam dengan posisi berdiri karena kehabisan napas dan minimnya oksigen selain organ yang rusak akibat terlalu lama berdiri di atas truk yang membawa mereka ke penjara rezim musyrik Thailand

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Dalam rangka memperingati 13 tahun tragedi kemanusiaan yang menimpa umat Islam Patani di Thailand Selatan, PP Pemuda Muhammadiyah bekerja sama dengan Gerakan Mahasiswa Indonesia Peduli Patani (Gempita) menggelar diskusi publik bertajuk “Peringatan 13 Tahun Tragedi Tak Bai” di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jl Menteng Raya No 62, Jakarta Pusat, Senin (13/10/2017).

Ketua Gempita, Rahmad, mengatakan, tujuan diadakannya acara lintas organisasi kepemudaan tersebut bertujuan untuk mengingatkan kembali kepada publik bahwa satu dekade silam pernah ada salah satu pembunuhan massal yang dilakukan oleh rezim musyrik Thailand terhadap umat Islam.

“Untuk bisa memberikan wawasan serta khazanah keilmuan kepada khalayak serta memberikan empati kemanusiaan bahwasanya ada sisi-sisi kemanusiaan yang direnggut di wilayah Selatan Thailand. Juga untuk menggali solidaritas nasional, regional dan internasional,” katanya.

Rahmad juga menyampaikan, meskipun memakan korban jiwa dalam jumlah yang sangat besar, pemberitaan mengenai tragedi Tak Bai ini tidak mendapat perhatian dari publik luas. Hal itu di antaranya disebabkan oleh peran pemerintah Thailand dalam membatasi kebebasan pers, khsususnya yang berkaitan dengan agenda militer di Patani.

“Pemberitaan ini memang tidak populer di masyarakat. Karena memang ada beberapa agenda pembungkaman media di Thailand, karena rezim yang sangat represif terhadap media,” ungkapnya.

Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah Ari Nurrohman sangat mendukung aksi solidaritas kemanusiaan terhadap Muslim Patani ini. Menurutnya, masyarakat tidak perlu takut untuk menggaungkan solidaritas kemanusiaan, terlebih lagi yang terbukti adanya pelanggaran kemanusiaan.

“Ya kalau bicara kemanusiaan kenapa tidak. Pemuda tidak perlu menyembunyikan kepeduliannya,” tutur Ari.

Sementara itu, peneliti senior Wahid Institute Ahmad Suady mengungkapkan pengalamannya ketika melakukan penelitian langsung ke Patani beberapa tahun lalu. Menurutnya, rezim Thailand bersikap sangat keras dan tanpa kompromi ketika berhadapan dengan permasalahan yang menyangkut Muslim Patani.

Patani merupakan salah satu wilayah yang tertinggal dalam banyak aspek, seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan aspek kehidupan lainnya. Ahmad juga menjelaskan bahwa wilayah Patani dijadikan ‘objek’ pertarungan kekuasaan antara kekuatan-kekuatan politik di Thailand. Hal ini menimbulkan permasalahan multidimensi yang cukup pelik di Patani.

Kondisi ini pun diperburuk dengan adanya diskriminasi akses ekonomi, pendidikan, dan kesehatan serta tidak adanya upaya  pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yanng tinggal di Patani.

Berbagai kalangan masyarakat mulai dari mahasiswa, rakyat sipil, kaum perempuan hingga kelompok pejuang berupaya melakukan perubahan di Patani dengan beragam cara.

Baca Juga

“Yang separatis menginginkan merdeka, sementara civll society lebih menginginkan pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Peluang kerja lebih diberikan kepada penduduk non-lokal (di Patani), dalam artian kaum Budhis. Gerakan perempuan di sana itu jauh lebih kuat daripada di sini (Indonesia), karena mereka langsung berhadapan dengan tentara,” papar Ahmad.

Direktur Pusat Studi Timur Tengah dan Perdamaian Global (PSTPG) UIN Syarif Hidayatullah, Badrus Sholeh, menjelaskan, gerakan perlawanan di Thailand Selatan merupakan murni perjuangan rakyat Patani untuk memperoleh kehidupan yang damai. Oleh karena itu, ia melihat pemerintah Thailand terlalu berlebihan dengan merespons dinamika pergerakan di Thailand Selatan laiknya melawan kelompok teroris ekstrem.

“Mereka ini tidak ada hubungannya dengan kelompok ekstremis seperti ISIS. Jadi tidak ada transnasional terorisme,” ungkap Badrus.

Lebih lanjut, ia berharap pemerintah Indonesia juga harus tanggap dalam melihat aksi-aksi kekerasan di Asia Tenggara yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat sipil.

“Saya bicara dengan pemerintah Thailand, Pak Din Syamsuddin juga pernah terlibat. Pemerintah Indonesia belum begitu memikirkan peran-peran strategis. Belum ada upaya pemerintah Indonesia untuk membangun hubungan dengan kelompok sipil dan kelompok lainnya,”  tuturnya.

Pada 25 Oktober 2004, bertepatan dengan bulan Ramadhan 1425 H, ribuan umat Islam Patani berdemonstrasi damai di depan kantor polisi Tak Bai menuntut pembebasan enam orang warga Patani yang ditahan berdasarkan laporan palsu. Namun, aparat kepolisian yang dibantu tentara merespons aksi damai tersebut dengan tindakan represif berupa tembakan gas air mata, meriam air, dan peluru ke arah kerumunan massa. Tujuh Muslim Patani gugur dalam kericuhan awal tersebut.

Lebih dari 1.300 lainnya kemudian dipaksa melepaskan baju dan tiarap serta merangkak ke arah truk militer terdekat. Berdasarkan foto dan video yang direkam jurnalis, banyak dari warga yang ditendang dan dipukuli menggunakan tongkat dalam posisi tengkurap dan tidak berdaya untuk melakukan perlawanan.

Ribuan demonstran yang menuntut keadilan itu pun dibawa dengan menggunakan truk dengan kondisi berhimpit-himpitan satu dengan yang lainnya. Mereka harus menempuh perjalanan selama lima jam ke kamp militer di Inkayut dengan posisi berdiri. Setelah sampai di lokasi, sebanyak 78 orang meninggal dalam perjalanan karena kehabisan napas dan adanya organ yang rusak akibat terlalu lama berdiri dan minim oksigen.

PP Pemuda Muhammadiyah bekerja sama dengan Gerakan Mahasiswa Indonesia Peduli Patani (Gempita) menggelar diskusi publik bertajuk “Peringatan 13 Tahun Tragedi Tak Bai”, Senin (30/10/2017) di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya No 62, Jakarta Pusat. (Foto: al-Fath/Salam-Online)

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari mahasiswa-mahasiwa Patani yang berada di Jakarta, perlakuan serupa masih sering dialami oleh kelompok minoritas di Thailand itu. Terakhir, ada video beredar yang memperlihatkan penembakan terhadap dua pemuda Patani yang berjalan di sekitar pos polisi. Dua pemuda tersebut belakangan dilaporkan meninggal akibat penembakan tanpa sebab itu.

“Kehidupan masyarakat Patani dihantui ketakutan. Sampai sekarang masih terjadi agenda-agenda represif dalam agenda politik,” ungkap Ahmad. (al-Fath/Salam-Online)

Baca Juga