Populasinya Kian Berkembang, Komposisi Etnis & Agama Jadi Pemicu Genosida terhadap Rohingya

Anak-anak Muslim Rohingya, semakin banyak

DEPOK (SALAM-ONLINE): Dewan Penasihat Lembaga Kemanusiaan Southeast Asian Humanitarian Network for Rohingya (SEAHUM), Heru Susetyo, menilai etnis Rohingya sebagai orang yang paling menderita di dunia karena mendapatkan kekerasan yang bertubi-tubi. Heru menyebutnya sebagai multiple violence.

Disebut Multiple Violence, menurut Heru, karena kondisi etnis Rohingya yang mendapatkan diskriminasi sistematis dari Pemerintah Myanmar, mulai dari tidak diakui eksistensinya sampai Tindakan Genosida. Belum lagi, kata dia, masalah pengungsian, yakni beberapa negara tetangga tidak menerimanya.

“Mereka menerima penderitaan yang multiple karena mengalami diskriminatisi sitematis, stateless dan ditolak kewarganegaraan Myanmar-nya, akses medis, pendidikan, dan pelayanan sosialnya lainnya amat dibatasi,” kata Heru dalam Diskusi Publik Rohingya: ‘Apa Mengapa dan Bagaimana’ di Gedung Engineering Center 303 Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok, Senin (2/9/2017).

Heru juga mengatakan bahwa isu genosida yang dilakukan pemerintah Myanmar dan ekstremis Buddha di Myanmar bukan sekadar soal agama. Namun, kata dia, tragedi Rohingya telah menjadi isu kemanusiaan yang serius.

Terkait sinyalemen bahwa alasan di balik genosida etnis Rohingya adalah karena isu Sumber Daya Alam di daerah tempat tinggal Rohingya, bagi Heru, hal itu bukanlah alasan utama. Menurutnya, genosida dilakukan karena alasan Demografi.

Baca Juga

Disebut sebagai alasan demografi lantaran populasi etnis Muslim Rohingya semakin hari kian berkembang di tengah mayoritas penduduk Myanmar yang beragama Buddha. Apalagi ditambah dengan provokasi dari biksu seperti Ashin Wirathu, menyebabkan upaya intoleransi semakin bertambah.

“Komposisi etnis dan agama menjadi trigger (pemicu). Belakangan anak Rohingya menjadi banyak. Ini kurang menguntungkan untuk politik lokal. Yang lebih parah ada provokatornya,” ungkap dosen di Fakultas Hukum UI ini.

Terkait masalah toleransi, menurut Heru, Myanmar memang memiliki Rapor Merah. Bukan hanya bermasalah dengan etnis Rohingya, Myanmar juga memiliki masalah dengan beberapa etnis non-Buddha. Oleh karenanya, kata Heru, Myanmar perlu belajar dengan Indonesia.

“Myanmar belum selesai membangun jatidiri bangsanya. Mereka perlu belajar ke Indonesia, meski belum ideal, tapi kita lebih ideal dari mereka,” ungkap Heru. (MNM/Salam-Online)

Baca Juga