Amnesty International Ungkap Myanmar Terapkan Politik Apartheid terhadap Rohingya

Peneliti Amnesty International Elise Tillet (kanan) menyerahkan laporan hasil penelitian di negara bagian Rakhine, Myanmar, kepada Ketua Tim Pencari Fakta PBB Marzuki Darusman (kedua dari kanan) di Puri Denpasar Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2017). (Foto: al-Fath/Salam-Online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Amnesty International (AI) merilis hasil penelitian yang mengungkap kejahatan tersistematis rezim Myanmar terhadap Muslim Rohingya.

Dalam konferensi persnya di Puri Denpasar Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2017), AI menyatakan telah sampai pada kesimpulan bahwa pemerintah Myanmar secara sadar telah mempraktikkan politik Apartheid serta pembersihan etnis untuk menyingkirkan etnis minoritas Rohingya dari tempat tinggal yang telah mereka huni selama ratusan tahun di negara bagian Rakhine.

Politik Apartheid dikenal di Afrika Selatan, yakni politik yang membedakan derajat manusia berdasarkan warna kulit. Sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan ini berlangsung dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1993.

“Politik Apertheid adalah sistem penuh kekerasan yang biasanya berisi pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan di negara bagian Rakhine seperti yang kita saksikan dalam tiga bulan belakangan ini. Tujuannya adalah untuk menyingkirkan dan mendiskriminasi mereka yang dianggap ras tertentu. Mereka (pemerintah Myanmar) melanggar HAM terdasar Rohingya,” ungkap peneliti AI, Elise Tillet.

Lebih jauh Elise menjelaskan, laporan yang berisi penelitian langsung selama dua tahun ke sejumlah wilayah Rakhine dan lokasi pengungsian itu berisi mengenai berbagai perlakuan dan kebijakan diskriminatif pemerintah Myanmar yang nampak jelas telah mencerabut hak-hak dasar dan kehidupan warga Rohingya.

Di antara sekian daftar perlakuan diskriminatif tersebut, tutur Elise, adalah pembatasan sejumlah akses publik seperti kesehatan, pendidikan, hingga pergi bekerja dan berpergian ke luar kota. Untuk berpergian dari satu kota ke kota lainnya, warga Rohingya diwajibkan melapor dan mengantongi izin terlebih dahulu dari petugas setempat, meskipun hanya untuk sekadar melaut dan bertani guna mencari penghidupan.

Baca Juga

Pihak keamanan juga memasang cekpoin di masing-masing daerah penjagaan yang tujuannya untuk membatasi dan memperketat ruang gerak Muslim Rohingya.

“Mereka juga tidak bisa mengakses layanan kesehatan ke rumah sakit pada malam hari, karena petugas tidak membolehkan mereka keluar rumah lewat dari pukul 18.00. Teman saya menyaksikan seorang bapak dipukuli oleh petugas karena ingin pergi ke Yangoon mencari kerja,” ungkap Elise.

Di bidang pendidikan, pemerintah Myanmar tidak membolehkan warga Rohingya mendaftar di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah. Hal itu menurut Elise disebabkan oleh peraturan diskriminatif pemerintah yang berupaya mengisolasi etnis Rohingya dari warga Myanmar lainnya.

“Oleh karena itu warga Rohingya banyak yang bergantung pada warga Rohingya yang berpendidikan, di mana maksimal yang bisa ditempuh hanya sampai setingkat SMP. Dengan membatasi akses pendidikan seperti ini, pemerintah Myanmar telah merampas masa depan anak-anak Rohingya,” ujar Elise.

Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) PBB Marzuki Darusman mengapresiasi hasil temuan AI mengenai kejahatan tersistematis pemerintah Myanmar yang berlangsung di Rakhine. Menurutnya, dengan banyaknya penelitian-penelitian dan laporan yang membuktikan adanya kejahatan tersebut, harus ada upaya lebih kuat dari komunitas internasional untuk membawa kasus pelanggaran kemanusiaan berat ini ke meja hijau internasional.

“Penjelasan Elise itu memperlihatkan bahwa yang dialami Rohingya tidaklah bersifat insidentil melainkan melembaga. Walaupun tidak dikatakan sebagai kebijakan resmi, namun penindasan itu memiliki dampak terhadap eksistensi warga Rohingya. Oleh karena itu ada suatu dasar untuk melihat ini sebagai pidana sebagaimana tercantum dalam Statuta Roma mengenai pidana kejahatan Apartheid,” jelas Marzuki. (al-Fath/Salam-Online)

Baca Juga