Antara Penghayat Kepercayaan, Pemerintah, MK dan Persidangan yang tak Lazim

Para penganut kepercayaan menyambut gembira putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi pasal 61 UU no 23 tahun 2006 dan pasal 64 no 24 tahun 2013 tentang administrasi kependudukan. (Foto: Antara)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pada Selasa 7 November 2017, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat, Ketua MK Arief Hidayat dan kedelapan anggotanya memutuskan untuk mengabulkan permohonan Nggay Mehang Tana dan kawan-kawan, sehingga Penghayat Aliran Kepercayaan dicantumkan dalam Kartu Keluarga (KK) dan kolom agama di KTP.

Permohonan itu diajukan pada 28 September 2016. Kelompok Penghayat Kepercayaan itu menuntut uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam Hal ini pemerintah sebagai pihak yang tergugat.

Namun, Pasca diputuskannya perkara itu, banyak kalangan yang kontra dengan putusan MK tersebut. Mulai dari Ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Dwan Dakwah Islamiyah Indonesia9 DDII) dan lainnya, juga Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Alasan penolakannya pun hampir sama. MK, dinilai tidak piawai dalam memutuskan, lantaran agama yang resmi di negara ada enam, tidak termasuk Aliran Kepercayaan. Maka jika Penghayat Kepercayaan dimasukkan dalam kolom agama di KTP dan KK, hal itu dianggap menyalahi putusan politik.

Apalagi menurut Ketua MUI KH Ma’ruf Amin, Aliran Kepercayaan bukanlah agama, dan tidak bisa disamakan dengan agama. Kiai Ma’ruf menilai bahwa putusan MK akan berimplikasi luas terhadap kehidupan bernegara.

Kiai Ma’ruf mengatakan bahwa identitas warga negara adalah agama, bukan Aliran Kepercayaan. Rais Aam PBNU ini menilai kebijakan terdahulu yang mengosongkan kolom agama bagi Penghayat Kepercayaan adalah tepat.

“Karena Aliran Kepercayaan bukan agama, dia tidak masuk dalam KTP. Tetapi dia dicatat sebagai Aliran Kepercayaan, komprominya. Tapi tidak masuk identitas kependudukan karena dia bukan agama,” ujar Kiai Ma’ruf setelah melakukan pertemuan dengan Ormas-ormas Islam membahas masalah tersebut di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/11/2017).

Baca Juga

Selain itu putusan MK tersebut juga membuat terkejut banyak kalangan. Pasalnya, dalam proses persidangan, pemerintah sebagai pihak tergugat, tidak mengundang pihak terkait untuk memberikan keterangan atau dimintai keterangannya.

Banyak pihak yang merasa terkait dengan hal ini seperti ormas-ormas Islam, Kementerian Agama dan MUI. Seperti diakui oleh Kiai Ma’ruf sendiri, pihaknya sama sekali tidak dimintai keterangan dalam proses persidangan.

Begitu pula dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang juga mengaku persidangan terkait Penghayat Kepercayaan di MK tidak seperti lazimnya.

“Karena tidak sebagaimana lazimnya yang biasanya mengundang Kementerian Agama untuk memberikan keterangan atau dimintai keterangan terkait dengan isu atau poin-poin dalam undang-undang yang diuji, tapi justru yang terkait dengan ini kita sama sekali tidak dimintai keterangan. Kita tidak mengetahui sama sekali,” ungkap Menag Lukman di Kantor MUI, Jumat (17/11).

Hal itu pun mengundang kecurigaan terhadap pihak pemerintah sebagai pihak yang tergugat. Pemerintah dinilai abai terhadap aspirasi masyarakat dan dianggap setuju dengan apa yang digugatkan.

Tidak seperti sidang yang membahas perkara lainnya, biasanya pemerintah mengahdirkan pihak terkait. Seperti halnya pada sidang Judicial Review (JR) yang diajukan Aliansi Keluarga Indonesia (AILA) soal pasal 284, 285, dan 292 KUHP, dengan semangatnya pemerintah menghadirkan pihak terkait yang menolak.

AILA beranggapan bahwa pasal kesusilaan yang termuat dalam 3 pasal tersebut sangatlah longgar, sehingga memberikan ruang bebas untuk masyarakat melakukan penyimpangan seksual (LGBT) dan seks bebas. Dan sampai saat ini, satu tahun berselang, permohonan itu pun masih dalam proses pengujian MK. (MNM/Salam-Online)

Baca Juga