JAKARTA (SALAM-ONLINE): Mahkamah Konstitusi (MK) pada 7 November 2017 lalu mengabulkan gugatan para Penghayat Aliran Kepercayaan yang menuntut untuk mendapatkan hak yang sama seperti pemeluk agama lain yang memiliki kolom identitas agama di KTP.
Keputusan MK ini mendapat respons penolakan dari berbagai kalangan, di antaranya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam. MUI dan ormas-ormas Islam rencananya akan membuat surat pernyataan bersama menolak putusan MK itu.
Sebagai bentuk penolakan, menurut Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amien, umat Islam dan MUI berpendapat pemerintah tidak perlu melaksanakan putusan MK tersebut lantaran telah menyalahi kesepakatan negara yang tidak mengakui aliran kepercayaan sebagai agama, melainkan budaya.
“Tidak harus dilaksanakan, kalau ditolak kenapa harus dilaksanakan. Final, itu tidak harus dilaksanakan,” ungkap Kiai Ma’ruf di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/11/2017).
Menurut Rais Aam PBNU ini, kesepakatan negara untuk tidak memasukkan Penghayat Kepercayaan ke dalam kolom agama KTP sebelumnya sudah dirasa adil dan proporsional. Mengingat Penghayat Aliran Kepercayaan sendiri bukanlah agama.
“Adil, memang kesepakatannya seperti itu. Wong porsinya dia itu bukan agama, maka tidak ditaruh di dalam identitas (KTP), tapi dia dicatat. Itu kan sudah proporsional,” kata Kiai Ma’ruf.
Jadi, Kiai Ma’ruf menegaskan, apa yang diputuskan MK bukan lagi tidak adil dan proporsional, tapi telah merusak tatanan negara. “Itu merusak, bukan (lagi) tidak adil. Merusak tatanan,” tegasnya. (MNM/Salam-Online)