Dideportasi UEA, Mantan Perdana Menteri Mesir Tiba di Kairo

Ahmed Shafiq

KAIRO (SALAM-ONLINE): Mantan Perdana Menteri Mesir di era Presiden Husni Mubarak, Ahmed Shafiq (76), dikabarkan tiba di Kairo, setelah ditangkap dan dideportasi dari Uni Emirat Arab (UEA), kata pengacaranya.

Shafiq, yang baru-baru ini mengumumkan rencana untuk mencalonkan diri sebagai presiden tahun depan, tinggal di UAE sejak 2012 setelah kalah melawan Mohammad Mursi dalam pilpres Mesir.

Dia tiba di ibu kota Mesir, Kairo, pada Sabtu (2/12/2017) malam, sumber di bandara internasional Kairo, seperti dikutip Aljazeera, Ahad (3/12/2017), melaporkan.

Laporan tersebut disampaikan setelah pengacara Shafiq mengungkapkan di Facebook bahwa kliennya telah ditangkap di rumahnya, UAE, dan akan dideportasi ke Mesir.

Pengacara itu, Dina Adly, juga mengatakan bahwa semua lini komunikasi dengan Shafiq telah ditutup sejak Jumat (1/12).

Kantor berita UEA, WAM, pada Sabtu mengatakan bahwa Shafiq sedang menuju Kairo, sementara keluarganya masih tinggal di negara tersebut.

Pada Rabu (29/11) lalu, Shafiq mengatakan dalam pesan video eksklusif kepada Aljazeera bahwa dia dicegah untuk meninggalkan UEA, beberapa jam setelah dirinya mengumumkan rencana untuk mencalonkan diri dalam pilpres pada 2018 mendatang melawan Abdel-Fattah el-Sisi.

Namun pemerintah UEA berubah, yang semula mencegahnya kembali ke Mesir, kemudian dikabarkan akhirnya mengusir Shafiq dari negara itu. Menurut sebuah sumber, pemerintah UEA mendeportasi mantan jenderal kepercayaan Husni Mubarak itu karena marah, lantaran dituding melarang Shafiq kembali ke Mesir untuk maju dalam pemilihan presiden mendatang melawan Abdul Fattah al-Sisi.

Menurut sejumlah saksi dan penasihat Shafiq, deportasi itu terjadi pada Sabtu kemarin. Sebelumnya sejumlah aparat UEA menyambangi kediaman Shafiq di Abu Dhabi untuk memintanya kembali ke Mesir menggunakan pesawat jet pribadi. Namun, keluarganya tetap dibolehkan tinggal di sana, lansir AFP, Ahad (3/12).

Sebelumnya Shafiq mengungkapkan keterkejutannya dicegah kembali ke Mesir setelah dia mengumumkan rencana keikutsertaannya dalam pilpres Mesir 2018. “Saya terkejut mengetahui bahwa saya dicegah meninggalkan UEA, dengan alasan yang saya tidak mengerti dan saya tidak mau mengerti,” katanya dalam pernyataannya.

“Saya menolak intervensi apapun dalam urusan Mesir dengan mencegah saya untuk mengambil hak konstitusional dan misi suci untuk me negara saya,” tambah Shafiq.

Menteri Luar Negeri UEA Anwar Gargash kemudian menanggapi dalam serangkaian tweet, dengan mengatakan bahwa “tidak ada halangan” bagi keberangkatan Shafiq dari UEA.

Baca Juga

“(Shafiq) berlindung di UAE dan melarikan diri dari Mesir setelah pemilihan presiden 2012. Kami memberikan kepadanya setiap fasilitas dan keramahan yang murah hati meskipun kami sangat memperhatikan beberapa posisinya,” kata Gargash.

Sahar Aziz, seorang profesor Hukum di Universitas A & M Texas, mengatakan, ada beberapa fakta tentang klaim Shafiq bahwa dia dilarang meninggalkan UEA.

“Dia jelas telah dideportasi. Agaknya, alasan mengapa dia dideportasi adalah respons atas klaimnya bahwa dia dilarang berangkat dari UAE ke Prancis. Dia ingin melakukan perjalanan ke Eropa di mana dia akan berkampanye di tengah-tengah Diaspora Mesir, dan kemudian mungkin (setelah itu) melanjutkan perjalanan ke Mesir,” kata Aziz kepada Aljazeera.

Putrinya, May Shafiq menerangkan, ayahnya berencana pergi dari UEA menuju Eropa dan Amerika Serikat (AS) terlebih dahulu sebelum kembali ke Mesir untuk memulai kampanye pada Jumat 1 Desember. “Namun ayah saya sempat dilarang meninggalkan UEA sebelum kemudian mendapat jaminan bisa pergi dengan bebas,” kata May.

Shafiq adalah perdana menteri selama satu bulan di tahun 2011. Setelah dikalahkan Mohammad Mursi dalam pemilihan presiden pada 2012, Shafiq melarikan diri ke UEA. Dia diadili secara in absentia di Mesir dan dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi.

Dia kemudian dibebaskan. Pembebasannya dari kasus korupsi, membuka jalan baginya untuk kembali ke Mesir.

Pada Jumat lalu, Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry mengatakan bahwa dia tidak melihat ada batasan hukum yang dapat mencegah Shafiq untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden tahun depan melawan Sisi.

“Pada prinsipnya, dia bebas mewakili dirinya sendiri kepada pemilih. Seperti dalam masyarakat manapun, terserah kepada pemilih untuk memutuskannya.”

Shafiq bukanlah satu-satunya orang yang akan menantang Sisi dalam pemilihan presiden Mesir mendatang. Khaled Ali, seorang pengacara Mesir terkemuka, juga menyatakan maksudnya untuk mengikuti pilpres tahun depan.

Apapun, yang jelas, apakah Sisi atau Shafiq atau lainnya yang menang dalam pilpres mendatang, yang jelas Mesir masih belum move on dari sistem dan rezim yang tak pro-rakyat, apalagi terhadap Islam. (S)

Sumber: Aljazeera

Baca Juga