JAKARTA (SALAM-ONLINE): Keputusan Presiden Donald Trump mengakui Yerusalem menjadi ibu kota Zionis, menurut mantan Anggota Komisi I DPR Dr Muhammad Najib, dapat diartikan sebagai deklarasi pemerintah Amerika yang menarik diri dari perannya selama ini selaku mediator proses perdamaian antara Palestina dengan Zionis. Padahal sebagai mediator, AS sudah melakukannya selama puluhan tahun.
Dengan memberikan dukungan penuh kepada “Israel” yang telah ditegaskan Trump sejak kampanye pilpres tahun lalu, maka, kata Najib, Amerika sudah kehilangan legitimasi sebagai juru damai.
Ketidakpeduliannya atas berbagai reaksi banyak kepala negara dan masyarakat internasional, ujar Najib, sebenarnya menunjukkan konsistensi Trump dalam memperjuangkan “American First”.
Kepada Salam-Online, Najib mengatakan buah dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Donald Trump akan berbuntut kepada reaksi emosional.
“Kebijakan yang dikeluarkan Trump akan menimbulkan reaksi emosional yang muncul ke permukaan, mulai dari demo dan berbagai kecaman yang diarahkan kepadanya,” ujar Najib, Jumat (8/12).
Selain itu, menurutnya, anjuran boikot produk-produk Amerika, sampai kemungkinan terjadinya serangan teroris atau perang terbuka antara “Israel” dengan negara-negara Arab yang sudah terjadi berulangkali dengan kekalahan dan kemenangan silih berganti antara kedua belah pihak, akan kembali terjadi.
Sekiranya kita mampu melihat masalah ini secara rasional dan proporsional, ungkapnya, rasanya tidak sulit untuk menyikapinya.
“Kenapa kita menuntut Amerika terlalu banyak, di saat mereka sendiri ingin berkonsentrasi membangun negerinya sendiri?” tanya Najib.
Kita harus menyadari, terang pria kelahiran Bali ini, Amerika kini bukan Amerika yang dulu. Amerika kini tidak ingin menghabiskan perhatian dan energinya yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan kepentingan domestiknya.
Keputusan menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota “Israel” dinilainya sebagai isu domestik untuk memperkuat dukungan berbagai pihak di dalam negeri, di tengah sang presiden mengalami penurunan popularitas akibat berbagai sikap kontroversialnya.
Menurut Najib, bagi masyarakat internasional sebaiknya mengonsolidasi diri dengan memanfaatkan berbagai forum multilateral, khususnya PBB, agar tidak ada negara lain yang mengikuti langkah Amerika. Dengan demikian, keputusan Trump tidak akan memberikan dampak apa pun, atau setidaknya, akan memberikan dampak yang tidak signifikan bagi perjuangan bangsa Palestina meraih kemerdekaannya.
Jika kita melihat ke belakang, paparnya, tidak sulit untuk memahami keputusan Trump ini. Sejak kampanye, Trump menggunakan strategi yang dikenal dengan istilah “populisme” yang memainkan isu-isu sensitif dan berisiko bagi keutuhan bangsa Amerika sendiri. Isu-isu terkait kulit putih, hitam dan berwarna dimainkan untuk mendapatkan dukungan kelompok mayoritas kulit putih.
Dengan membangun imajinasi superioritas kulit putih atas ras lain, kata Najib, sebenarnya Trump membangkitkan kembali persoalan lama bangsa Amerika yang telah dikubur oleh para negarawan pendahulunya.
“Trump juga memainkan isu agama dengan menempatkan Islam sebagai kambing hitam. Secara politis pilihan ini sangat rasional, mengingat populasi umat Islam sangat kecil jika dilihat dari kontribusi suara dalam pemilihan umum,” katanya. (EZ/Salam-Online)