Jika AS Pindahkan Kedutaannya ke Yerusalem, Hamas: Trump Mau Tambahkan Lebih Banyak Minyak ke Api
WASHINGTON (SALAM-ONLINE): Jika rencana Amerika Serikat (AS) jadi memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem, maka banyak yang merasa hal itu akan mengobarkan konflik di Timur Tengah.
Selain itu akan membuat marah para pemimpin Palestina, lansir Aljaazeera,Senin (4/12/2017).
Hamas sendiri berkali-kali menyatakan tak akan melepaskan Yerusalem. “Palestina tidak akan menerima untuk melepaskan Yerusalem, mereka tidak akan menerima untuk melepaskan hak mereka,” tegas juru bicara Hamas, Osama Hamdan, dalam sebuah pernyataan yang dikutip Aljazeera.
Hamas menegaskan Presiden Donald Trump harus memilih apakah menginginkan perdamaian atau menambahkan minyak ke api.
“Dia tahu bahwa Yerusalem adalah kunci untuk perdamaian. Trump harus memilih apakah ia ingin menciptakan perdamaian di kawasan ini atau dia ingin menambahkan lebih banyak minyak di atas api,” kata Hamdan.
Zionis “Israel” menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota yang tak terbagi dan abadi pada 1980. Namun klaim penjajah itu tetap tidak dikenal oleh masyarakat internasional.
Palestina sendiri akan menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Keinginan Palestina itu telah mendapatkan dukungan luas dari masyarakat internasional.
Namun, menurut penasihat senior Gedung Putih, Jared Kushner, Presiden AS Donald Trump masih mempertimbangkan keputusan apakah akan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
“Presiden ‘masih melihat banyak fakta yang berbeda’,” kata Kushner, yang juga menantu Trump, dalam pidatonya di Forum saban tahunan di Washington, Minggu (3/12/2017).
Seperti diketahui, selama masa kampanyenya, Trump berjanji akan memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem. Namun sejauh ini ia belum memenuhi janjinya.
Laporan muncul pada Jumat (1/12) bahwa Trump sekali lagi dapat menunda kepindahan kedutaan, namun mengakui Yerusalem sebagai ibu kota “Israel”, merupakan sebuah langkah yang akan menulis ulang kebijakan AS yang telah berlangsung lama.
Zionis “Israel” menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota yang tak terbagi dan abadi pada 1980. Namun klaim penjajah itu tetap tidak dikenal oleh masyarakat internasional.
Saat ini tidak ada negara yang memiliki kedutaan besarnya di Yerusalem. Semua misi diplomatik tersebut berada di Tel Aviv.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina, Saeb Erekat, mengecam setiap kemungkinan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota penjajah tersebut.
Yerusalem adalah “jantung sosial, politik, budaya, agama dan ekonomi Palestina”, katanya dalam sebuah pernyataan.
“Jika pemerintah AS memutuskan untuk menentang komitmen internasional dan kebijakan luar negerinya dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota ‘Israel’, maka (AS) tak hanya akan mempromosikan anarki internasional dan tidak menghormati institusi dan hukum global, namun juga akan mendiskualifikasi dirinya untuk memainkan peran,” ujar Erekat.
Mantan asisten sekretaris negara AS untuk urusan publik, PJ Crowley, mengatakan kepada Aljazeera bahwa “sampai sekarang, AS telah menunda langkah tersebut karena dianggap berpotensi merugikan status negosiasi akhir antara para pihak”.
“Jika Washington mengubah sikap itu dan menyatakan Yerusalem (atau setidaknya sebagian) untuk menjadi ibu kota ‘Israel’, lalu bagaimana administrasi Trump menyeimbangkan sikap tersebut dengan orang-orang Palestina,” kata Crowley.
“Kami tidak tahu, tapi tidak jelas bagi saya mengapa Gedung Putih merasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengaduk sarang lebah.” (S)
Sumber: Aljazeera