JAKARTA (SALAM-ONLINE): Dalam Uji Materi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU P3A) di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/1/18), pemohon, dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah mengaku kepada hakim bahwa diskriminasi dan persekusi yang dialami Jemaat Ahmadiyah lantaran adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyesatkan ajaran Ahmadiyah.
Namun anggota Majelis Fatwa MUI, KH Aminudin Yakub, menegaskan bahwa hal itu terjadi bukanlah karena fatwa yang dikeluarkan MUI. Dia menjelaskan, dalam kasus yang terjadi, Jemaat Ahmadiyah selalu membuat keresahan di tengah masyarakat, khususnya di kalangan umat Islam.
Keresahan itu, kata dia, timbul lantaran tindakan Ahmadiyah yang berusaha menyebarkan ajarannya, dan mengamalkan paham yang dinilai menyalahi ajaran Islam di tengah komunitas Muslim. Sebut misalnya, melaksanakan Shalat Jum’at sendiri dan mengklaim bahwa ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas Muslim Indonesia adalah sesat.
Terkait dengan fatwa, Yakub menegaskan bahwa fatwa terkait Ahmadiyah di MUI muncul pada 1980, dan ditegaskan kembali pada 2005 pasca tragedi Cikesik. Jauh sebelum itu, ungkapnya, ormas-ormas Islam telah mengeluarkan fatwa kesesatan Ahmadiyah.
Muhammadiyah, terang Yakub, telah mengeluarkan fatwa kesesatan Ahmadiyah pada 1926, Ormas Persis pada 1932 dan Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1941. Yakub juga menegaskan bahwa fatwa tentang Ahmadiyah telah menjadi kesepakatan seluruh Ormas Islam di Indonesia.
“Jadi fatwa tentang Ahmadiyah ini adalah fatwa seluruh ormas Islam,” tegasnya.
Untuk itu, kata Yakub, negara wajib hadir untuk mengatur hak beragama warga negaranya. Oleh karenanya kehadiran UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama itu adalah tepat.
UU tersebut, ungkap dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, justru melindungi hak dan ketertiban beragama.
“Kebebasan beragama dibebaskan. Tapi kebebasan bukan kebebasan menodai dan menistai agama orang lain,” ujarnya.
Lebih lanjut Yakub menerangkan kepada hakim MK beberapa kesesatan Ahmadiyah yang dinilai telah menodai ajaran Islam tersebut. Salah satunya adalah menganggap bahwa Nabi Muhammad menurut kepercayaan Ahmadiyah bukanlah nabi terakhir. Dan umat Islam yang tidak sepaham dengan Ahmadiyah dianggap sesat.
“Jadi kita juga diangap sesat oleh Ahmadiyah,” terang Yakub.
Yakub sendiri hadir di persidangan tersebut sebagai saksi ahli dari MUI yang didatangkan oleh pihak terkait, yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). (MNM/Salam-Online)