SALAM-ONLINE: Kalimantan atau juga disebut Borneo pada zaman penjajahan (kolonial), adalah pulau terbesar ketiga di dunia yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah barat Pulau Sulawesi. Saat ini pulau Kalimantan masuk ke wilayah tiga negara: Indonesia (73%), Malaysia (26%) dan Brunei (1%).
Pulau Kalimantan terkenal dengan julukan “Pulau Seribu Sungai” karena banyaknya sungai yang mengalir di pulau ini.
Nama Borneo, yang berasal dari nama kesultanan Brunei (karena Brunei saat itu merupakan pelabuhan yang ramai dan strategis) adalah nama yang dipakai oleh penjajah Spanyol, Prancis, Inggris dan Belanda untuk menyebut pulau ini secara keseluruhan. Sedangkan Kalimantan adalah nama yang digunakan oleh penduduk kawasan timur pulau ini yang sekarang termasuk wilayah Indonesia. Jika ditilik dari bahasa Jawa, nama Kalimantan berarti “Sungai Intan”.
Negara-negara Islam muncul, berkembang dan berjaya di Kalimantan pada saat kekuatan Islam secara global sedang kuat dan berjaya. Terbukti tahun 1453 kekhilafahan Turki Utsmani berhasil menaklukkan Konstantinopel di Barat dan di ujung Timur, Islam berkembang di kepulauan Indonesia dan Filipina. Sebaliknya Eropa (Barat) belum menjadi kekuatan yang diperhitungkan di tataran global maupun kawasan Asia Tenggara.
Sebelum abad ke-17 banyak umat Islam yang menulis sejarahnya sendiri. Namun setelah abad ke-17 penulisan sejarah didominasi oleh para penulis Barat (Eropa) yang mulai menancapkan kuku-kuku penjajahannya di dunia Islam. Pada masa penjajahan tersebut sejarah peradaban Islam ditulis oleh orang Barat yang kebanyakan menggunakan perspektif penjajah. Penulisan sejarah Islam oleh sejarawan dari negara penjajah tersebut berusaha mengecilkan peran Islam dan politik Islam dengan berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan kejayaan politik pra Islam (nativisme).
Di Nusantara hal ini terjadi karena hampir di semua daerah, penjajah Belanda selalu berhadapan dengan orang Islam ketika mereka hendak mencapai tujuan penjajahannya. Para ulama dan pemimpin Islam memimpin jihad untuk mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh penjajah kafir. Oleh sebab itu, seorang arsitek politik kolonial yang masyhur, Snouck Hurgronje, menyimpulkan bahwa Islam menjadi ancaman paling berbahaya bagi penjajah Belanda untuk mewujudkan dan melanggengkan misi penjajahannya (Gold, Glory and Gospel).
Para penjajah sadar bahwa sejarah menjadi sarana yang efektif untuk mempropagandakan ideologi dan peradaban selain Islam, yang lebih bisa kompromi dengan penjajah. Maka, tulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat sejarah era pra Islam. Bahkan De Graaf, seorang sejarawan Belanda, menyebut bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah di abad 20 yang meneliti dan mengulas peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang datang dari India tersebut.
Perusakan sejarah yang didukung dengan teori nativikasi (kembali ke aslinya) yang dilakukan oleh penjajah adalah salah satu upaya mereka mencegah kebangkitan kembali institusi politik yang berdasarkan Islam yang bisa mengancam kepentingan dan keberlangsungan penjajahan.
Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan. Tegaknya negara yang berdasarkan Islam di Asia Tenggara dan khususnya di Kalimantan adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi, dan mulai terkuak seiring dengan berjalannya waktu. Kejayaan politik dan peradaban Islam tidak kalah dengan kejayaan peradaban pra Islam yang selalu berusaha dipromosikan oleh Penjajah.
Berdasarkan konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara (Rights and Duties of States) disebutkan bahwa Negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur, yaitu: penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan dengan Negara lain.
Dalam konteks Islam, sebuah negara bisa disebut sebagai negara Islam (Daarul Islam), jika memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan syar’i (hukum Islam). Ibnu Qayyim mengatakan, “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa Daarul Islam adalah negeri yang dikuasai kaum Muslimin dan ditegakkan hukum-hukum Islam. Sedangkan negeri yang tidak berlaku padanya hukum-hukum Islam, maka ia bukan termasuk Daarul Islam meskipun ia berbatasan langsung (dengan Daarul Islam).”
Seiring dengan berjalannya waktu, keemasan masa kejayaan peradaban Islam di wilayah ini mulai terkuak sedikit demi sedikit. Emas tetaplah emas walaupun tertutup dengan lumpur penjajahan Eropa. Emas itu berusaha ditutupi dengan berbagai propaganda penjajah yang menyatakan bahwa masa Islam adalah masa yang penuh dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Namun sejarah justru membuktikan sebaliknya, rakyat negara-negara Islam di kepulauan Nusantara hidup damai, aman, tenteram dan penuh keadilan dengan syariat Islam, sebelum kedatangan penjajah.
Ketika penjajah datang keadaan berubah demikian cepat; kekerasan, ketidakadilan dan pertumpahan darah terjadi di mana-mana, di tempat penjajah berusaha menancapkan kepentingannya. Negara-negara Islam yang menerapkan hukum (syariat) Islam—yang dianggap tidak berperikemanusiaan oleh para penjajah Barat—justru terbukti berhasil mencapai tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang aman, adil dan makmur. Sebaliknya penjajah yang membawa sistem hukum Barat terbukti gagal mewujudkan semua itu.
Negara-negara kesultanan Islam yang banyak terdapat di pulau Kalimantan seperti Kesultanan Samudera Brunei Darussalam, Banjar, Kutai serta negara-negara lainnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara dan negara Islam. Di negara-negara tersebut Islam menjadi agama resmi negara yang dianut oleh para pemimpinnya dan mayoritas rakyatnya. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara juga dilandaskan pada aturan syariat Islam.
Negara Islam Kesultanan Brunei berdaulat dan menerapkan hukum Islam secara menyeluruh termasuk dalam hal jinayah (pidana). Brunei telah mempunyai Undang-Undang tertulis yang menjadi pedoman hukum Islam yang sudah dikodifikasi menjadi Hukum Kanun Brunei yang berdasarkan ketentuan hukum (syariat) Islam.
Demikian juga negara Islam kesultanan Banjar yang berdaulat dan berhasil memakmurkan rakyatnya serta menciptakan keadilan dengan menerapkan syariat Islam selama ratusan tahun. Hukum Islam yang yang dijalankan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi juga mengakomodasi adat setempat yang sudah mengalami proses Islamisasi sehingga tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Di masa akhir Banjar baru dilakukan kodifikasi hukum Islam yang sebelumnya telah dilaksanakan.
Sebelum adanya campur tangan penjajah Belanda, Pengadilan Agama di Kesultanan Sambas secara turun-temurun melaksanakan hukum Islam yang juga menerapkan Qisas menurut hukum Islam. Misalnya membunuh dihukum bunuh, berzina dikenakan hukum rajam.
Setelah masa penjajahan hukum Islam berusaha dikebiri, hanya diberlakukan untuk masalah keluarga dan ibadah mahdhah saja. Sedangkan untuk perkara pidana tidak boleh lagi dilaksanakan dan diganti dengan hukum penjajah yang dibawa dari Eropa.
Rakyat di Kesultanan Kutai dan Sambas serta negara-negara Islam lainnya di Kalimantan hidup dengan makmur, tenteram dan damai sebelum kedatangan para penjajah Eropa. Para sultan di negara-negara Islam di Kalimantan tersebut semuanya Muslim dan berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam serta berupaya menerapkan aturan hukum syariat Islam. Adapun mengenai adanya unsur adat dalam kitab hukum yang ditemukan para sejarawan bukan sesuatu yang mengejutkan, karena memang hukum Islam bisa menerima dan menolerir adat selama adat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam atau telah mengalami proses Islamisasi.
Para pemimpin dan ulama tidak tinggal diam dengan terjadinya penjajahan, dan kezaliman di negerinya. Mereka bahu membahu bersama rakyat mengobarkan perang sabil untuk melawan penjajah Belanda. Pangeran Hidayatullah dari Kesultanan Banjar contohnya, menganggap perang melawan Belanda adalah perang sabil atau jihad terhadap orang kafir Belanda. Untuk itu Belanda memberikan imbalan atas kepala Pangeran Hidayatullah seperti juga Pangeran Antasari sebesar 10.000 Gulden bagi siapa saja yang berhasil menangkap atau membunuhnya.
Executive Summary: Edisi 18/Desember 2017
Penulis: K. Subroto