Menggugat Pasal Pidana ‘Seumur Hidup’ UU Ormas di MK

Sidang perdana gugatan UU Ormas No 16/2017 di MK, Senin, 15 Januari 2018. (Foto: MNM/Salam-Online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pada 2017 lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017, tentang Peubahan Atas Undang-Undang nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).

Penolakan pun datang dari berbagai kalangan. Banyak yang mengangap Perppu tersebut bernuansa otoriter dan merenggut hak kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat warga negara.

Judicial Review pun dilakukan beberapa Ormas di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hal itu gagal lantaran di tengah proses persidangannya, DPR terlebih dahulu mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017.

Tapi tidak berhenti di situ. Setelah disahkan menjadi Undang-Undang pada tahun 2017 lalu, Anggota Front Pembela Islam (FPI) Munarman bersama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Perkumpulan Hidayatullah, Yayasan Forum Silaturahim Antar Pengajian Indonesia, dan Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia, kembali menggugat Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 yang telah disahkan DPR tersebut ke MK.

Munarman yang juga didukung Tim Advokasi GNPF-Ulama, menggugat beberapa pasal yang dinilai bertentangan dengan konstitusi negara. Dari sekian pasal yang digugat, yang paling menarik perhatian adalah pasal yang dapat memidana anggota Ormas yang terlarang selama seumur hidup.

Bukan hanya karena jenis hukumannya yang dinilai tidak manusiawi. Namun objek pidananya pun dinilai berlebihan. Bagaimana tidak, seorang warga negara yang didakwa menjadi anggota suatu Ormas yang terlarang, baik dia aktif maupun tidak, dia terancam dipidana seumur hidup.

Baca Juga

Munarman menganggap pasal yang memuat norma di dalam UU nomor 16 tahun 2017 tersebut, bertentangan dengan prinsip hukum pidana. Menurutnya, tidak ada pidana tanpa kesalahan. Dan, bergabung ke salah satu Ormas bukanlah kesalahan.

“Anggotanya saja, orang yang mendaftar menjadi anggota, (meski) tidak aktif dalam ormasnya tetapi kemudian bila ada kehendak politik dari penguasanya, maka anggotanya yang bersifat pasif ini bisa dijatuhi pidana. Ancaman pidananya berat, seumur hidup masalahnya,” ungkap Munarman saat menghadiri sidang perdana Judicial Review Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (15/1/18).

“Undang-Undang ini sangat tidak layak dan ini hanya ada di negara yang menganut paham komunis sebetulnya. Padahal UU Ormas ini dimaksudkan mencegah paham komunis kan,” terang Munarman.

Apalagi, menurutnya, untuk menetapkan suatu Ormas terlarang pun sangatlah bernilai subjektif. Hal itu terdapat dalam Frasa “atau paham lain” pada Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c. Berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya yang menjelasan secara detail bahwa paham yang terlarang yakni paham atheis, komunis, marxis dan leninis.

Hal itu, kata munarman, telah terbukti ketika pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pembubaran atas HTI oleh pemerintah pun dinilai Munarman sangatlah bersifat subjektif.

“Terbukti ternyata kemudian pemerintah sekarang menganggap HTI itu bertentangan. Poin apa yang bertentangan, itu kan subjektivitas,” ujarnya. (MNM/Salam-Online)

Baca Juga