10 Catatan Buruk Kebebasan Pers dan Berpendapat di Era Jokowi

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pusat Studi Media dan Komunikasi, Remotivi, merilis 10 poin track dan record di era Presiden Joko Widodo yang dinilai mengekang kebebasan berpendapat dan kebebasan Pers. Catatan buruk ini disampaikan oleh Peneliti Remotivi, Faris Dzaki saat jumpa pers di Kantor LBH Pers, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (13/2/18).

Berikut poin-poinnya:

1. RKUHP Penghinaan Presiden

Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), terdapat pasal yang mengatur penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden. Padahal sebelumnya Mahkamah Konstitusi (http://indeks.kompas.com/tag/Mahkamah-Konstitusi) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan pasal tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP (http://indeks.kompas.com/tag/KUHP).

2. Registrasi Simcard

Peraturan Menteri Kominfo Nomor 14 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas Peraturan Menkominfo Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, yang mewajibkan pengguna jasa telekomunikasi untuk mendaftarkan ulang identitasnya dengan menggunakan NIK dan nomor Kartu Keluarga juga dinilai sebagai bentuk upaya pengekangan.

3. Revisi UU ITE (tidak Menghilangkan Kriminaslisasi)

Revisi UU ITE dianggap Remotivi tidak menghilangkan kriminilasisai. Kriminalisasi bisa saja mengenai warga negara yang kritis terhadap pemerintah melalui media sosial yang kemudian dapat dijerat UU ITE.

4. Pers di Papua

Kejadian pengusiran tiga kontributor dan jurnalis BBC Indonesia saat hendak meliput KLB Campak dan Busunglapar di Agats, Asmat, Papua, menjadi rapor merah bagi Jokowi dalam melindungi insan media yang melakukan kegiatan jurnalistik.

5. Penghargaan terhadap Surya Paloh (Bintang Mahaputra Utama/Tokoh Pers)

Pada 2015, Presiden Jokowi menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputra Utama (Tokoh Pers) kepada Surya Paloh, pemilik stasiun televisi Metro TV. Hal itu dianggap telah mencederai dunia kewartaan nasional lantaran Surya Paloh dianggap tidak pantas menerimanya.

Apalagi pada 2014 lalu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengumumkan bahwa penanggungjawab redaksi stasiun televisi Metro TV yang dimiliki Surya Paloh itu, sebagai Musuh Kebebasan Pers. Surya Paloh turut mewarnai wajah buram keberpihakan media saat pemilihan umum 2014.

Baca Juga

Penghargaan yang diberikan Jokowi disinyalir hanya karena keberpihakan Surya Paloh dan medianya kepada pemerintah.

6. UU Ormas

Pembentukan UU Ormas, dengan korban pertama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dianggap jelas sebagai tindakan pembungkaman kebebasan bersuara dan berkelompok. Banyak mendapatkan penolakan, UU Ormas saat ini tengah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).

7. Pemendagri tentang Surat Keterangan Penelitian

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 Tahun 2018 (https://drive.google.com/file/d/1ACCaXQQBgfu5oomB4UKm2Ut2RQor9fgp/view) tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP) resmi diundangkan pada 17 Januari 2018. SKP wajib dimiliki bagi siapa pun yang berniat melaksanakan riset di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah Jokowi lagi-lagi dinilai berupaya untuk mengekang kebebasan berpendapat dengan mempersempit ruang bagi para peneliti.

8. Barcode Dewan Pers

Penerapan Barcode oleh Dewan Pers untuk media-media yang terverifikasi pada Januari 2017 lalu, menjadi catatan buruk pemerintahan Jokowi dalam kebebasan pers.

9. Blokir Media Online tanpa Proses Hukum

Semenjak Pemerinthan Jokowi, pemblokiran media online tanpa proses peradilan kerap terjadi. Alasan subjektif pemerintah dalam pemblokiran sangat bertentangan dengan semangat kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.

10. Pembiaran terhadap Pembubaran Diskusi

Beberapa kali pembubaran terhadap diskusi dan pengajian terjadi selama pemerintahan Jokowi, namun kenyataannya tidak ada penanganan yang pasti dan serisus dari pemerintah untuk menjamin hak warga negaranya dalam berekspresi. (MNM/Salam-Online)

Baca Juga