Di Tengah Pembantaian, Akhirnya Putin Perintahkan Jeda untuk Kemanusiaan di Suriah
SALAM-ONLINE: Di tengah pembantaian yang terus dilakukan oleh pasukan Basyar Asad, meski DK PBB telah mengeluarkan resolusi gencatan senjata selama 30 hari, akhirnya sekutu seitan rezim, Rusia, akan memberlakukan jeda untuk kemanusiaan setiap hari di daerah kantong Ghouta Timur yang terkepung di Suriah mulai Selasa, 27 Februari 2018.
Pemberlakuan jeda untuk kemanusiaan ini adalah atas perintah Presiden Vladimir Putin, kata Menteri Pertahanan Sergey Shoigu pada Senin (26/2).
Sebuah koridor kemanusiaan akan terbuka bagi warga sipil untuk keluar dari wilayah tersebut setiap hari dari pukul 9 pagi sampai jam 2 siang, kata Shoigu, saat berbicara di hadapan Dewan Menteri Pertahanan.
“Lokasi koridor kemanusiaan akan segera diumumkan,” janji Shoigu yang dikutip kantor berita Anadolu, Senin (26/2).
Rusia juga menawarkan untuk membentuk sebuah komisi kemanusiaan internasional di bawah PBB yang dapat memasuki Raqqah sebagai evaluasi situasi di daerah tersebut.
Menteri luar negeri Rusia pada Senin juga berdiskusi dengan rekan-rekannya di Jerman dan Yordania melalui telepon terkait jeda kemanusiaan di Suriah, khususnya untuk Ghouta Timur.
Sergey Lavrov mengatakan kepada Menlu Jerman Sigmar Gabriel, langkah-langkah yang akan diambil negaranya untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan di wilayah tersebut, kata situs resmi Dinas Luar Negeri Rusia.
Dia mendesak Gabriel untuk mencoba meyakinkan koalisi pimpinan AS agar melakukan tindakan serupa dengan memfasilitasi jeda kemanusiaan di wilayah lain di Suriah.
Lavrov juga meminta Menlu Yordania Ayman al-Safadi untuk mengambil langkah jeda kemanusiaan serupa di dekat Al-Tanf dan Rukban.
Untuk diketahui, selama ini gencatan senjata dalam rangka kemanusiaan selalu dilanggar oleh rezim dan Rusia. Apakah resolusi PBB terkait gencatan senjata selama 30 hari ini akan ditaati atau kembali dilanggar oleh rezim dan sekutu setianya, Rusia, serta milisi-milisi Syiah dukungan Iran? Masih dinanti.
Sementara itu, juru bicara Sekjen PBB Stephane Dujarric pada Senin mengatakan setidaknya 30 orang, termasuk wanita dan anak-anak, telah terbunuh dalam 48 jam terakhir di Ghouta timur. Pembantaian yang dilakukan oleh rezim Asad ini berlangsung setelah PBB mengeluarkan resolusi gencatan senjata selama 30 hari.
“Sejak 19 Februari, meningkatnya konflik telah mengakibatkan 500 orang terbunuh dan sekitar 1.500 luka-luka di Ghouta timur. Sebanyak 24 fasilitas kesehatan di Ghouta timur dilaporkan terkena serangan udara dan tembakan, di samping tiga lokasi kemanusiaan lainnya,” katanya kepada wartawan.
Dujarric mengatakan pada periode yang sama, serangan terhadap Damaskus dan kantor gubernur menghasilkan 14 korban tewas dan 214 luka-luka.
Mengomentari jeda kemanusiaan Rusia, Dujarric mengatakan, “Lima jam (untuk jeda kemanusiaan) lebih baik daripada tidak ada jam (waktunya). Tapi kami ingin melihat penghentian permusuhan sepanjang 30 hari seperti diputuskan oleh Dewan Keamanan PBB. Kami akan berusaha melakukan apapun yang kami bisa lakukan.”
Pada hari Sabtu (24/2), Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang menyerukan gencatan senjata 30 hari di Suriah “tanpa penundaan”.
Ghouta Timur, pinggiran ibu kota Damaskus, telah diblokade oleh rezim Basyar Asad dalam lima tahun terakhir dari akses kemanusiaan. Distrik ini dihuni oleh sekitar 400.000 penduduk. Akibat diblokade, Ghouta Timur benar-benar terputus sehingga sulit menerima bantuan kemanusiaan, baik makanan maupun akses kesehatan.
Dalam delapan bulan terakhir, rezim Asad makin mengintensifkan blockade (pengepungan) di Ghouta Timur, sehingga hampir tidak mungkin bagi makanan atau obat-obatan masuk ke distrik tersebut. Padahal ribuan pasien memerlukan perawatan.
Hanya dalam hitungan hari, sejak 18 Februari 2018, lebih dari 500 warga sipil di Ghouta Timur terbunuh dalam serangan udara rezim Asad dan Rusia serta milisi-milisi Syiah dukungan Iran. dalam beberapa hari ini.
Suriah telah terperangkap dalam konflik yang menghancurkan sejak Maretl 2011 ketika rezim di negara itu menghadapi demonstran dengan kekerasan yang tak terduga. Unjuk rasa oleh warga itu dilakukan untuk mendesak perubahan di negara tersebut.
Menurut PBB, dalam konflik yang memasuki 7 tahun ini hampir 500 ribu orang terbunuh. (S)
Sumber: Anadolu Agency