JAKARTA (SALAM-ONLINE): Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkhawatirkan cara-cara penanganan “terorisme” yang kontroversial, tidak transparan dan tidak memperhatikan parameter HAM dan aturan hukum yang berlaku, justru akan memicu, menyuburkan atau membuat rantai ekspresi atau tindakan “terorisme” lainnya.
Dalam hal ini, KontraS menyatakan, aturan penanganan tindak pidana “terorisme”, secara jelas telah menekankan pentingnya akuntabilitas dalam penindakan terhadap terduga sesuai dengan prosedur dalam perundang-undangan yang ada.
Dan, menurut KontraS, penindakan yang menyebabkan kematian terduga harus dapat dipertanggungjawabkan (Perkap Kapolri No 23/2011 Tentang prosedur penanganan tindak pidana “terorisme”, pasal 3 huruf e, dan pasal 19, ayat 3).
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, KontraS mendesak Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian untuk melakukan autopsi ulang terhadap jasad Muhammad Jefri/MJ (32) yang meninggal saat dalam penanganan Densus 88, agar diketahui penyebab pasti kematiannya.
Autopsi, menurut KontraS, juga penting untuk melibatkan tim dokter independen serta disaksikan pihak keluarga agar proses berjalan secara transparan dan akuntabel.
“Jika kemudian diketahui ada pelanggaran hukum maupun prosedur yang dilakukan oleh Densus 88 atas kematian MJ, maka Kapolri harus segera menindak dengan tegas anggotanya yang diduga terlibat dalam kasus ini,” tegas Koordinator Badan Pekerja KontraS Yati Andriyani dalam siaran persnya di Jakarta, Jumat (16/2/2018).
Selain itu, Yati meminta Komnas HAM agar melakukan pemantauan terhadap kasus kematian MJ setelah ditangkap oleh tim Densus 88. Hal ini penting, kata Yati, untuk memastikan ada atau tidaknya pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus ini.
KontraS juga meminta Ombudsman RI untuk melakukan investigasi terkait dengan dugaan maladministrasi dalam proses penyidikan, termasuk mengenai informasi yang disampaikan oleh pihak keluarga terkait tidak adanya surat pemberitahuan penangkapan dan penahanan terhadap MJ.
Hal yang juga penting, terang Yati, adalah mendalami prosedur administrasi autopsi yang dilakukan oleh pihak kepolisian sebagaimana diatur dalam pasal 134 ayat 1 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana yang menyebut prosedur autopsi tersebut harus seizin dari pihak keluarga.
Terakhir, KontraS meminta Komisi III DPR RI dan Panitia Kerja (Panja) RUU Pemberantasan “Terorisme”DPR memanggil Polri untuk dimintai penjelasan dan pertanggungjawaban lebih jauh atas kasus ini.
“Dan memastikan aturan RUU pemberantasan ‘terorisme’ yang tengah dibahas dapat memberikan rumusan yang dapat menjamin pencegahan dan akuntabilitas peristiwa serupa,” pungkas Yati.
Seperti diberitakan sebelumnya, MJ ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror, di Indramayu, Jawa Barat, pada Rabu (7/2) lalu. Namun kemudian MJ dikabarkan meninggal. Dia dikembalikan kepada keluarganya dalam keadaan sudah tidak bernyawa dan dimakamkan di kampung halamannya, Lampung, pada 10 Februari 2018 lalu. (S)