JAKARTA (SALAM-ONLINE): Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan tanggung jawab Kepolisian dalam kasus kematian Muhammad Jefri alias MJ (32) saat berada di bawah penguasaan Tim Densus 88. MJ ditangkap atas dugaan terlibat dalam kasus “Terorisme”. Saat ditangkap, menurut keluarga, MJ diketahui dalam keadaan sehat.
Selain itu, menurut pihak keluarga, penangkapan terhadap yang bersangkutan juga tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dan penahanan.
“Kami juga meyayangkan penjelasan mengenai kematian MJ baru disampaikan oleh Polri pada 15 Februari 2018 atau satu minggu setelah kematian MJ setelah media massa memberitakan peristiwa ini,” sesal Koordinator Badan Pekerja KontraS Yati Andriyani dalam rilisnya di Jakarta, Jumat (16/2/2018).
Menurut Yati, penjelasan yang disampaikan Polri mengenai kasus ini, masih terdapat ketidakjelasan informasi dan potensi kecacatan dalam operasi pemberantasan “terorisme” oleh Tim Densus 88.
Dalam kasus ini, menurut KontraS, tidak dijelaskan secara terbuka bagaimana penanganan terhadap para Terduga “Terorisme” atau dugaan tindak pidana lainnya saat berada di bawah penguasaan Tim Densus 88. Bagaimana, lanjut Yati, perlakuan terhadap mereka yang memiliki penyakit atau riwayat penyakit yang dapat mematikan, seperti serangan jantung atau lainnya.
“Jika benar yang bersangkutan meninggal karena serangan jantung, maka patut dipertanyakan tindakan Tim Densus yang seperti apa yang membuat MJ mengalami serangan jantung karena sebagaimana diketahui serangan jantung dapat terjadi akibat dipicu oleh kondisi dan situasi tertentu,” ujarnya.
Dalam hal ini, kata dia, andai pun benar yang bersangkutan meninggal karena serangan jantung, maka rangkaian peristiwa mengapa serangan jantung itu terjadi harus didalami, hal apa yang mengakibatkan serangan jantung tersebut dapat terjadi. Mengingat, ujarnya, MJ meninggal saat tengah berada di bawah penguasaan Densus 88.
“Hal ini, harus dijelaskan dan dipertanggungjawabkan jika terbukti serangan jantung terjadi karena adanya kelalaian berupa perlakuan yang tidak patut terhadap terduga tindak pidana yang memiliki riwayat atau indikasi penyakit tertentu,” tegasnya.
Menurut KontraS, pemberantasan tindakan “terorisme” adalah kerja penting untuk keamanan negara dan warga negara. Namun demikian penanganan yang tidak berkesesuaian dengan parameter hukum dan HAM tidak dapat dibenarkan.
“Oleh karenanya, pernyataan Sekretaris Biro Internal Divisi Profesi dan Pengamanan (Divisi Propam) Mabes Polri jangan terburu-buru memberikan kesimpulan dalam melakukan penyidikan kasus ini. Sebelum dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan memastikan, tidak menutup proses pemeriksaan lebih lanjut, termasuk kemungkinan autopsi ulang untuk memastikan pemeriksaan yang independen dan akuntabel dalam kasus ini,” tandas Yati.
Hal-hal tersebut di atas, kata Yati, patut diperhatikan untuk menghindari peristiwa serupa, sebagaimana pernah terjadi dalam kasus kematian Siyono, warga Klaten, pada 10 Maret 2016.
“Dalam kasus Siyono ini dua orang anggota Densus 88 hanya diberikan sanksi etik, yakni sanksi hukuman demosi tidak percaya dan diwajibkan untuk meminta maaf kepada atasannya, meski kemudian keduanya mengajukan banding,” Yati mengingatkan. (S)