Menuntut Pasal Asusila dalam RKUHP yang Sesuai dengan Falsafah Bangsa dan Negara

Konferensi Pers MIUMI Terkait Pasal Asusila dalam RUU-KUHP. (Foto: MNM/Salam-Online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pasal asusila di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih menjadi perhatian. Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia yang tetap konsisten bersikukuh agar DPR dan Pemerintah memerhatikan pasal tersebut sehingga sesuai dengan norma bangsa, kini tidak sendirian.

AILA yang sebelumnya ditolak permohonannya di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perluasan makna dan norma dalam pasal asusila yakni Pasal 284, 285 dan 292 KUHP, saat ini didukung banyak kalangan, termasuk dari Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).

MIUMI mendukung perluasan makna beberapa pasal dalam RKUHP terkait perzinaan, perkosaan dan perbuatan cabul sesama jenis, yang selama ini menjadi bahan usulan AILA untuk DPR.

Pasal asusila, menurut MIUMI, sebagaimana kerap disuarakan AILA harus sesuai dengan pancasila dan UUD 1945. Sementara pasal asusila yang saat ini berlaku dinilai belum sesuai dengan nilai dan falsafah negara.

Oleh karenanya, MIUMI mengajak seluruh komponen bangsa untuk ikut mengawal proses RKUHP yang saat ini masih dibahas di DPR.

“Ikut mengawal proses perjuangan legislasi nasional demi terwujudnya KUHP yang sesuai dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945,” ujar Sekjen MIUMI, Ustadz Bachtiar Nasir saat konferensi pers terkait RUU-KUHP di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (13/2/18) malam.

Delik Aduan atau Umum?

Terkait pasal asusila, khususnya pasal perzinaan, DPR sendiri pada Januari 2018 telah merumuskan bahwa pasal tersebut masuk ke dalam delik aduan. Dirumuskan bahwa yang berhak mengadu adalah suami atau istri, atau pihak ketiga yang tercemar atau yang berkepentingan.

Pihak yang berkepentingan dalam rumusan pasal yang diusulkan pemerintah tersebut pun masih belum dirumuskan dengan baik. Pihak ketiga yang berkepentingan disebut sebagai orang tua pelaku zina atau kepala adat atau kepala desa.

Hal itu diakui oleh Pakar Hukum Perkawinan Universitas Indonesia (UI) yang Menjadi kuasa hukum AILA, Neng Zubaidah, masih belum cukup. Pihak ketiga dalam delik pasal tersebut harus diperluas kembali karena perzinaan tidak hanya dilakukan di masyarakat tertentu, tapi bisa juga di lembaga pendidikan dan semisalnya.

Kendati demikian, Neng mengaku lebih setuju dengan rumusan tersebut ketimbang rumusan DPR pada Februari 2018 yang mempersempit pihak yang berhak mengadukan, yakni hanya suami istri, dan orang tua atau anak, tanpa orang ketiga yang tercemar dan berkepentingan.

“Apa orang tua punya anak? atau anak punya orang tua semua? Kami lebih cenderung kepada rumusan yang sebelumnya,” ungkap Neng.

Baca Juga

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indoensia, Ustadz Zaitun Rasmin mengatakan bahwa RKUHP yang di dalamnya membahas pasal asusila harus segera disahkan, meski nanti menjadi delik aduan, bukan delik umum.

Ustadz Zaitun menyebut delik aduan dalam pasal perzinaan memang tidak ideal dan tak sesuai dengan pandangan ulama tentang ajaran Islam, namun hal itu sudah dinilii memadai untuk mengurangi kemaksiatan.

“Tapi kalau ini demi memperbaiki moral bangsa kita, atau paling tidak, mengurangi kemaksiatan, keburukan, kejahatan, Insya Allah sudah memadai,” kata Ustadz Zaitun.

Intervensi Asing

Diakui oleh anggota DPR Komisi III Fraksi PKS, Nasir Djamil bahwa sejumlah Duta Besar (Dubes) negara Uni Eropa mendatangi DPR, melobi, agar perilaku LGBT tidak masuk dalam revisi UU KUHP (RKUHP).

Untuk itu, Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Dr Maneger Nasution meminta DPR dan Presiden untuk tidak goyah dengan intervensi asing yang menurutnya pasti lagi-lagi membawa isu HAM.

“Kita mendorong Presiden dan DPR untuk kuat,” ungkap Maneger.

Menenurut mantan Komisioner Komnas HAM ini, Indonesia mempunyai hak untuk merumuskan undang-undangnya sendiri yang sesuai dengan nilai yang dianut warga negaranya. Apalagi di PBB sendiri tidak menyepakati bahwa HAM membolehkan pernikahan sejenis.

“Internasionalnya tidak diatur secara rinci maka peraturan yag berlaku secara final dan binding adalah negara masing-masing,” kata Maneger.

Oleh kaernanya, kata dia, negara di luar Indoensia tidak boleh intervensi, karena salah satu nilai HAM yang paling universal disebut Dignity, yakni hak dan martabat negara.

Adapun dalam pandangan Pancasila dan UUD 1945, kriminalisasi terhadap pernikahan sejenis, tegas Maneger, tidaklah melanggar HAM. Nilai HAM, tutur dia, yang termaktub dalam UUD Pasal 28a sampai 28i, jelas dibatasi oleh Pasal 28j.

“Boleh dan itu tidak melanggar HAM,” tegas Maneger. (MNM/Salam-Online)

Baca Juga