Pembantaian Lagi di Suriah: Dalam 48 Jam Rusia dan Rezim Asad Bunuh 136 Warga Sipil di Ghouta Timur

Seorang gadis kecil Suriah terbaring di atas tandu di sebuah rumah sakit setelah serangan udara menggempur kota asalnya, Arbin, di-Ghouta Timur pada 6 Februari 2018. (Sumber Foto: Anadolu/Diaa Al-Din)

GHOUTA TIMUR (SALAM-ONLINE): Rusia dan pasukan rezim Suriah telah membunuh setidaknya 136 warga sipil dalam 48 jam terakhir di Ghouta Timur, sebuah wilayah pinggiran ibu kota Damaskus, demikian diungkapkan penduduk dan kelompok pemantau sebagaimana dilansir Aljazeera, Kamis (8/2/2018)

Pada Senin (5/2/18), 30 warga sipil terbunuh dalam serangan udara, sedangkan pada hari berikutnya, 80 lainnya meregang nyawa. Sedikitnya 22 anak dan 21 perempuan termasuk di antara korban yang terbunuh.

Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), sebuah kelompok pemantau yang berbasis di Inggris, mengatakan pada Selasa (6/2) bahwa apa yang terjadi dalam dua hari berturut-turut ini menandai “pembantaian terbesar di Suriah” sejak serangan kimia April 2017 terhadap Khan Sheikhoun di provinsi Idlib, dimana saat itu lebih dari 80 orang terbunuh.

Kedekatan Ghouta Timur dengan ibu kota Damaskus—di mana rezim Basyar Asad bermarkas—menjadikannya sebagai target utama rezim dan sekutu utamanya, Rusia.

Pasukan Asad telah memberlakukan blokade militer di wilayah tersebut sejak 2013, sebagai upaya untuk menumpas kelompok oposisi bersenjata di sana.

Sejak Ghouta Timur yang dihuni sekitar 400.000 penduduk itu diblokade, rezim Asad dan Rusia terus menerus melancarkan serangan. Dan, dalam beberapa bulan terakhir, terjadi peningkatan serangan udara di wilayah ini.

“Orang-orang di luar berpikir bahwa Rusia dan rezim Suriah membunuh pejuang bersenjata, tapi ini benar-benar salah. Hanya warga sipil yang jadi sasaran,” ungkap Al-Shami, yang kehilangan 10 anggota keluarga dekatnya ketika rumah mereka dibombardir, April 2017 lalu.

Menurut SOHR, 369 orang telah terbunuh di Ghouta Timur, termasuk 91 anak dan 68 wanita, sejak akhir Desember 2017.

Orang makan satu kali sehari

Ghouta Timur sebenarnya merupakan salah satu dari beberapa zona ‘de-eskalasi’ (zona aman) yang disepakati setahun lalu oleh Rusia dan Iran—keduanya sekutu rezim—dan Turki, pendukung oposisi Suriah. Kesepakatan itu dimaksudkan untuk mengakhiri kekerasan dan memberikan keamanan kepada warga sipil. Tapi, itu belum diimplementasikan, karena rezim Asad dan Rusia selalu melanggarnya.

Serangan tersebut terutama menyasar daerah permukiman, pusat kesehatan, pasar lokal dan sekolah.

Karena pengepungan (blokade) tersebut, bantuan kemanusiaan sangat sedikit yang bisa masuk, membuat akses terhadap persediaan kebutuhan dasar seperti makanan, sangat terbatas. Persediaan obat-obatan dan perlengkapan medis juga langka.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hampir 12 persen anak balita di Ghouta Timur menderita gizi buruk akut—tingkat tertinggi yang pernah tercatat sejak dimulainya perang di Suriah.

Sedikitnya lima anak—dari lebih 130—meninggal karena kurangnya pasokan medis. Dan, konvoi bantuan terakhir PBB yang diizinkan masuk adalah pada November 2017, menurut Al-Shami.

Sedikitnya lima anak meninggal karena minimnya pasokan medis di wilayah pejuang opisisi yang dikepung. (Sumber Foto: Anadolu/Diaa Al-Din)

Sejak saat itu, setidaknya 12 orang telah meninggal karena kelaparan, termasuk empat anak dan dua perempuan, kata Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah.

Al-Shami mengatakan banyak orang terpaksa mengemis. “Harga makanan di pasar sangat tinggi, orang makan satu kali sehari. Ada banyak orang yang mengemis di jalanan—anak-anak, orang tua, ini masalah besar,” kata dia.

Baca Juga

Untuk menjaga diri tetap hangat selama bulan-bulan musim dingin, para keluarga telah membakar perabotan. “Meski kayu itu mahal, mereka membakar lemari, kursi—apapun yang terbuat dari kayu—itu sudah menjadi kenyataan kita,” ujarnya.

De-eskalasi yang gagal total

Fadel Abdul Ghany, pendiri Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah, mengatakan bahwa kampanye militer melawan Ghouta meningkat pada pertengahan November 2017.

Menurut catatan kelompok itu, sekitar 19 pasar, tujuh pusat kesehatan, enam sekolah, tiga taman kanak-kanak dan 10 pusat pertahanan sipil, telah diserang sejak saat itu.

“Apa yang terjadi di Ghouta merupakan bukti bahwa kesepakatan de-eskalasi adalah kegagalan total. Parahnya lagi adalah masyarakat internasional tidak dapat melakukan apapun untuk menghentikan pengepungan,” kata Abdul Ghany kepada Aljazeera.

Pada 2013, Ghouta Timur menjadi sasaran serangan senjata kimia yang mengejutkan dunia.

Menurut beberapa perkiraan, pesawat tempur rezim menjatuhkan sekitar 1.000 kg gas Sarin mematikan di daerah tersebut, merenggut nyawa lebih dari 1.000 orang, yang sebagian besarnya adalah warga sipil.

Meskipun rezim Asad mengklaim bahwa mereka tidak lagi memiliki senjata kimia, namun setidaknya tiga serangan kimia skala kecil lainnya terjadi dalam beberapa pekan terakhir di wilayah ini.

Abdul Ghany percaya bahwa peningkatan serangan terhadap wilayah tersebut terkait dengan konferensi yang diorganisir Rusia pada Januari lalu.

Rusia, yang terlibat dalam perang Suriah untuk mendukung Asad sejak akhir September 2015, sebagian besar telah mengambil alih upaya untuk menemukan solusi politik dalam konflik tersebut setelah membantu mengubah keseimbangan kekuasaan yang mendukung rezim sekutunya itu.

Konferensi bulan lalu, yang diadakan di Sochi, Laut Hitam, diboikot oleh pihak oposisi. Oposisi Suriah menegaskan bahwa Rusia dan rezim Suriah sebenarnya tidak tertarik dengan solusi politik. Menurut oposisi, rezim Asad dan Rusia mencoba untuk ‘memenangkan’ perang melalui kekuatan militer.

“Rezim dan sekutunya telah meningkatkan serangan di Ghouta untuk mengirim sebuah pesan kepada pihak oposisi di sana. Mereka ingin memberi tahu oposisi: jika Anda tidak mau mematuhi visi kami untuk sebuah solusi, maka takdir Anda adalah mati,” kata Abdul Ghany mengungkapkan apa yang sebenarnya diinginkan rezim Asad dan Rusia.Jika sebelumnya kelompok pejuang Suriah berhasil mengendalikan banyak wilayah, tetapi setelah Rusia dan Iran turun membantu, rezim Suriah kembali menguasai mayoritas wilayah Suriah. Perang yang dimulai pada 2011 ketika demonstrasi damai pecah, telah berubah. Menurut narasi rezim Suriah, karena kehadiran mantan kelompok bersenjata berafiliasi Al-Qaidah yang saat itu bernama Jabhah Nushrah yang, bagi Asad sebuah perang melawan “teroris”.

Tapi di Ghouta Timur, seperti banyak daerah di Suriah, warga sipil telah menanggung beban pertempuran tersebut.

Sedikitnya 470.000 orang terbunuh, dan lebih dari 12 juta orang Suriah, setengah dari populasi sebelum perang di negara itu, diusir dari rumah mereka dan mengungsi.

“Rasa sakit dan penderitaan yang kami saksikan di Ghouta Timur tak terlukiskan,” ungkap Al-Shami.

“Dan, bukan hanya Ghouta Timur, ini semua Suriah.” (S)

Sumber: Aljazeera

Baca Juga