Resolusi Gencatan Senjata Diabaikan, Rezim Suriah Terus Bantai Warga Sipil

GHOUTA TIMUR (SALAM-ONLINE): Sedikitnya empat warga sipil terbunuh dalam sebuah serangan (pembantaian) yang dilancarkan rezim Basyar Asad di daerah pinggiran Damaskus, Ghouta Timur, meskipun gencatan senjata di wilayah terkepung itu telah diberlakukan.

Pesawat tempur rezim Suriah melancarkan beberapa serangan udara di Douma dan Harasta pada Selasa (27/2/2018), demikian diungkapkan Mahmoud Adam, juru bicara Pertahanan Sipil Suriah, yang juga dikenal sebagai Helm Putih (White Helmets), kepada Aljazeera.

Di Douma, salah satu kota utama Ghouta Timur, empat orang, termasuk seorang wanita, kehilangan nyawa dan beberapa lainnya terluka, kata Adam.

Alaa al-Ahmed, seorang aktivis lokal, mengatakan kepada Aljazeera, serangan tersebut dimulai pada pukul 9.30 pagi, Selasa, 30 menit setelah gencatan senjata atas perintah pemimpin Rusia Vladimir Putin dimulai.

Gencatan senjata itu dimaksudkan untuk memungkinkan warga sipil mengungsi dari daerah kantong pembantaian yang dibombardir rezim Asad dan Rusia melalui udara sejak 18 Februari 2018 lalu.

Seperti diberitakan, Putin telah memerintahkan gencatan senjata pada Selasa (27/2) dari pukul 09:00 sampai 14:00 (7:00 sampai 12:00 GMT) saat serangan udara dan operasi darat membunuh lebih dari 550 warga sipil dalam delapan hari terakhir, kata Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR).

Menurut al-Ahmed, Rusia tidak memberikan jaminan atau bukan “pihak ketiga yang terpercaya” untuk membantu mengevakuasi korban yang terluka dari daerah tersebut.

“Bagaimana orang bisa mempercayai Rusia—orang yang sama yang mengebom kami—dengan membantu evakuasi yang aman dari yang terluka?” ujar al-Ahmed. “Ada kontradiksi besar.”

“Apa yang terjadi pagi ini adalah pelanggaran yang jelas dari gencatan senjata—yang hanyalah propaganda,” kata al-Ahmed.

Situasi kemanusiaan di pinggiran kota Damaskus itu telah memburuk, menyebabkan kecaman internasional meluas. Sekretaris Jenderal PBB sendiri menggambarkan situasi di Ghouta Timur itu sebagai “neraka di bumi”.

Anak-anak Suriah terkena serangan gas klorin

Pada Senin (26/2), dua hari setelah resolusi gencatan senjata disahkan PBB, sebuah serangan kimia yang menggunakan gas klorin, telah membunuh satu anak, menurut Pertahanan Sipil Suriah.

Gas klorin juga dilaporkan menewaskan sedikitnya 18 orang lainnya saat pasukan rezim menyerang kota al-Shifaniyah di Ghouta Timur yang dekat dengan front perlawanan.

Baca Juga

Nour Othman, seorang wartawan lokal yang berbasis di Douma, mengatakan kepada Aljazeera bahwa pesawat tempur rezim juga menyerang daerah al-Marj, sebuah kota di dekat pinggiran kota Douma, pada Selasa pagi.

“Puluhan orang telah terluka,” katanya.

Dan di kota Misraba, setidaknya tujuh orang telah terluka akibat serangan rudal.

Tidak ada ‘koridor yang aman’

Gencatan senjata itu seharusnya menciptakan “koridor yang aman” untuk memberi kesempatan berlangsungnya proses evakuasi terhadap korban yang terluka. Namun para aktivis menyesalkan bahwa tidak ada upaya pihak rezim pembantai itu untuk merealisasikannya.

“Sampai saat ini, tidak ada satu orang pun di Ghouta Timur korban yang dievakuasi,” kata Adam, menggambarkan gencatan senjata itu sebagai “tidak jujur”.

“Penembakan sedang berlangsung, dan ada bom laras yang digunakan di pinggiran Douma,” tambahnya.

Demikian pula, Firas al-Abdullah, seorang aktivis di Ghouta Timur, memastikan bahwa setidaknya tiga kota digempur pada Selasa, meski gencatan senjata telah berlaku.

Warga setempat juga mencatat bahwa beberapa pesawat tempur rezim terbang di atas desa-desa di pinggiran Douma.

Pada Sabtu )24/2), upaya awal untuk menerapkan gencatan senjata selama 30 hari di Suriah telah gagal, ketika sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB tidak dihormati.Ghouta Timur telah berada di bawah kontrol kelompok pejuang oposisi sejak 2013. Setelah itu rezim Asad memberlakukan blokade (pengepungan) di wilayah tersebut sebagai upaya untuk mengusir pejuang oposisi.

Blokade tersebut menyebabkan warga Ghota Timur kesulitan memperoleh makanan dan obat-obatan. Akibatnya tingkat inflasi melambung. Sementara konvoi bantuan tak mampu menyuplai persediaan makanan dan obat-obatan yang sangat dibutuhkan. (S)

Sumber: Aljazeera

Baca Juga