“Rezim Asad Bantai Rakyat Suriah, Seluruh Dunia Menonton”

Seorang anak perempuan Suriah terluka parah setelah rezim Asad membombardir Ghouta Timur pada Jumat, 23 Februari 2018. Namun pembantaian ini belum juga membuat dunia bertindak. (Kantor Berita Smart)

GHOUTA TIMUR (SALAM-ONLINE): Mohamed Adel berada di dalam kantornya, sebuah ruang bawah tanah di satu bangunan di Douma, Ghouta Timur, selama empat hari. Kemarin, tengah malam, dia memutuskan untuk mengambil risiko, keluar dari tempat berlindungnya, berlari sekitar tujuh meter ke rumahnya untuk mengecek keluarganya.

“Itu sangat mengerikan…,” katanya, terhenti, saat sebuah rudal menghantam gedung yang berlawanan.

Sejak bombardir meningkat terhadap Ghouta Timur, dimulai hampir sepekan yang lalu, ratusan keluarga mencari perlindungan di ruang bawah tanah. Sejumlah mereka tanpa makanan dan air terpaksa berlindung di ruang bawah tanah itu, Adel menceritakan kepada seorang jurnalis yang meliput perang di Suriah. Kemarin seorang relawan pergi mencari makanan untuk 200 keluarga yang terjebak di bawah tanah dan terbunuh.

“Beberapa dari anak-anak ini belum makan selama dua hari,” kata Adnan Al-Qadiri seperti dilansir Middle East Monitor.

Al-Qadiri adalah anggota dewan Assous Center, sebuah organisasi masyarakat sipil yang membantu wanita di dalam negeri untuk mencari pekerjaan, menawarkan dukungan psikososial kepada anak-anak dan menyediakan gandum sehingga penduduk dapat membuat roti.

Untuk diketahui, rezim Basyar Asad dan Rusia serta milisi Syiah dukungan Iran, tak hanya membombardir permukiman warga sipil, rumah sakit darurat, sekolah, masjid dan pasar, tapi juga merudal pabrik roti dan tokonya

Adel mengatakan, Pertahanan Sipil Suriah telah menghitung bahwa antara hari Senin dan Kamis (22/2-2018), mereka yang terbunuh berjumlah 334 orang, termasuk 57 wanita dan 44 anak-anak. Ada 338 serangan udara, 169 tong peledak, tiga bom curah, 34 rudal napalm dan lebih dari 2.800 rudal dan mortir berat. Pada Senin dan Selasa saja, sebanyak 260 orang meregang nyawa, 45 lainnya menyusul pada Rabu (21/2).

Sebenarnya sejak 2013, 400.000 atau lebih penduduk di Ghouta Timur sudah dibombardir oleh rezim. Pengeboman dilakukan dengan jarak maksimal satu atau dua hari per minggu. Namun pengeboman intensif oleh rezim tersebut dari 19 Februari 2018 lalu merupakan serangan terburuk sejak dimulainya proses revolusi di Suriah.

Situasinya sangat, sangat, sangat buruk. Ini yang terburuk sejak awal revolusi. Keadaan semakin memburuk setiap hari. Pengeboman demi pengeboman meningkat setiap hari. Ini belum berhenti sejak awal serangan mulai digencarkan.

Sejak Senin (19/2), tujuh rumah sakit telah dibom, kata Adel. Rezim telah lama menargetkan rumah sakit pusat darurat yang berada di lokasi rahasia, di bawah tanah misalnya. Yang terluka dan sekarat dibawa untuk dirawat, tanpa ambulans, karena semua mobil ambulans telah hancur. Warga sipil menyebut ini “perang kotor melawan dokter” karena menyasar petugas medis telah lama menjadi taktik yang digunakan rezim tersebut.

“Tidak ada dokter yang ditangkap rezim yang hidup sekarang,” kata Al-Qadiri. “Semua mereka telah dibunuh dalam tahanan oleh rezim atau bahkan sebelum mereka dibawa ke penjara.”

Siapapun yang bekerja di bidang medis menjadi target rezim selama revolusi.

“Sampai sekarang rezim terus mengebom dan membakar semua pusat kesehatan,” lanjutnya.

“Banyak rumah sakit yang hancur selama revolusi di daerah yang dikendalikan oleh pejuang oposisi, lalu dibangun kembali dan dokter mulai bekerja lagi di sana, namun rezim membombardirnya lagi. Di Douma, Homoriya, Saqba dan Kafr Batna. Sekarang hanya ada satu pusat medis, di Douma.”

Baca Juga

Namun Sejak Senin (19/2) 22 dari titik-titik medis ini juga telah digempur.

Pesawat tempur yang melancarkan serangan udara juga menyasar kota #Beit_Sawa. Medical Center di #Beit_Sawa benar-benar hancur oleh serangan udara, sekarang sudah tidak berfungsi lagi.

Listrik dipasok melalui generator yang disumbangkan oleh PBB, LSM internasional atau yang diselundupkan melalui terowongan sebelum dihancurkan. Terkadang tidak ada daya sama sekali karena jalur listrik yang dibangun oleh para aktivis enam tahun lalu juga telah hancur yang berarti otomatis sulitnya air. Saat generator tak berfungsi, dokter melakukan operasi menggunakan cahaya dari ponsel mereka.

Sulit untuk mendapatkan peralatan medis yang diperlukan, kata Al-Qadiri, karena selama dua tahun, rezim telah menyetop bantuan medis. Obat di apotek sudah kadaluarsa, tapi “Orang tetap menggunakannya,” katanya.

Beberapa jenis obat telah diselundupkan, tapi harganya cukup tinggi dan meroket setiap hari. Setelah operasi, orang (pasien) hanya mendapat jatah satu pil masing-masing, maksimal dua. “Beberapa operasi dilakukan tanpa anestesi,” ungkap Mohamed Adel.

“Kami di Ghouta menderita kekurangan dalam segala hal, termasuk dokter dan perawat medis. Sebagian besar orang yang kita miliki sekarang adalah sukarelawan terlatih,” imbuhnya.

Ghouta Timur sekarang hanya memiliki satu dokter dalam masing-masing spesialis. Sebut misalnya hanya ada satu ahli bedah dan satu dokter anak. Sejak blokade dimulai pada 2013 tidak ada yang bisa masuk, termasuk dokter internasional. “Beberapa siswa yang belajar kedokteran membantu setiap hari. Mereka belum lulus tapi mereka harus membantu,” ujar Al-Qadiri.

Pusat medis ini tidak dapat menerima semua orang yang terluka—ketika daerah tersebut dibombardir, 100 atau 200 orang terluka membutuhkan bantuan medis. “Mereka tidak bisa memperlakukan (membantu) semua orang ini. Mereka harus memilih siapa yang akan segera meninggal, lalu membantu (merawat)nya,” tambahnya.

Seperti telah terjadi selama perang tujuh tahun di Suriah, orang-orang yang hidup di “neraka” ini mengutuk keheningan internasional yang memekakkan telinga. Pertumpahan darah berlanjut karena rezim belum diperhitungkan, kata Adel, “Mereka akan mengulangi kejahatan karena tidak jera.”

Membawa Suriah ke puncak agenda berita setiap hari adalah “mimpi, selama Asad masih berada di istana kepresidenan,” ujarnya. “Dengan Asad, saya tidak melihat masa depan di Suriah kecuali perang dan kematian.”

“Mengapa masyarakat internasional tidak melakukan (tindakan) apapun untuk membantu. Mereka dapat melakukan sesuatu jika mereka mau, tapi mereka sepertinya tak akan melakukannya,” sesal Al-Qadiri.

“Rezim Asad membantai rakyat Suriah dan seluruh dunia sedang menonton. Tunggu apa lagi? Tak ada yang tahu.” (S)

Sumber: Middle East Monitor

Baca Juga