Bertemu MUI, PGI Ajak Umat Kristen Papua Saling Menghargai dan Merawat Kebhinnekaan

Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Ibu Pendeta Henriette Tabita Lebang (kiri) saat menggelar konpers bersama dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin (tengah), Selasa (20/3/2018) petang di Kantor MUI, Jl Proklamasi, Jakarta Pusat. (Foto: MNM/Salam-Online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin menerima kunjungan Ketua Perseketuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Ibu Pendeta Henriette Tabita Lebang pada Selasa (20/3/2018) petang untuk membicarakan penolakan Menara Masjid dan ajaran Islam oleh Persekutuan Gereja-gereja Jayapura (PGGJ) di Papua.

Kiai Ma’ruf mengatakan pertemuan tersebut digelar untuk mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan terjadi. Kiai Ma’ruf mengatakan bahwa MUI nantinya akan menawarkan solusi agar upaya intoleransi tersebut tidak berlanjut.

Namun, sejauh ini Kiai Ma’ruf mengaku masih belum bisa membayangkan cara penyelesaian yang tepat bagi masalah intoleransi yang terjadi di bumi Cendrawasih itu.

“Oleh karena itu kami berbincang, tapi dari informasi yang ibu sampaikan mereka sedang berunding mencari solusi. Kita nanti tawarkan solusi supaya hal ini tidak kemudian berlanjut,” ungkap Kiai Ma’ruf selepas pertemuan di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi, Jakarta, Selasa (20/3).

Sementara itu, Pendeta Henriette sendiri mengatakan pihaknya akan mencoba mendorong ke arah yang positif agar nantinya kebhinnekaan di tanah air dapat terawat.

“Di mana pun kita di tanah air ini saling menghargai, saling menopang dan mecari solusi ketika ada perbedaaan. Saya kira itulah semangat persaudaraan dalam kebhinnekaan,” kata Pendeta Henriette.

Solusi permasalahan sendiri diakui Pendeta Henriette tidak mudah dipecahkan begitu saja. Karenanya dia mengatakan akan menunggu proses yang tengah berjalan saat ini di Papua.

“Kita menunggu juga proses-proses yang berjalan di sana,” kata dia.

Selain itu, Pendeta Henriette berharap umat kristiani yang ada di Papua, agar merawat kemajemukan suku, bahasa dan agama yang ada. Pemikiran yang berbeda mestinya, menurut dia, tidak dijadikan sebagai sesuatu yang dapat memecah belah.

“Kita tidak biarkan dipecah belah oleh siapa pun karena terlalu mahal kesatuan bangsa ini  dikorbankan, apalagi untuk kepentingan sesaat,” ungkap Pendeta Henriette.

Sebelumnya diberitakan, Persekutuan Gereja-gereja Kabupaten Jayapura (PGGJ) mengeluarkan pernyataan sikap pada Kamis, 15 Maret 2018, dengan beberapa tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Jayapura terkait dengan umat Islam.

Pernyataan sikap PGGJ ini berdasarkan konferensi yang digelar pada 16 Februari 2018 lalu. Pada poin pertama tuntutannya, PGGJ minta suara Adzan tidak diperdengarkan ke publik, namun harus diarahkan ke dalam Masjid.

Baca Juga

“… Dengan membunyikan suara adzan melalui pengeras suara tanpa menghargai perasaan dari umat Kristiani yang ada di sekitarnya. Bahkan dengan sesuka hati membangun atau mendirikan tempat-tempat ibadah tanpa lebih dahulu berkomunikasi dengan pemeluk agama lain,” bunyi pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Ketua Umum Badan Pekerja (BP) PGGJ Pendeta Robbi Depondoye dan Sekretaris Umum Pdt Joop Suebu, Kamis, (15/3).

Umat Islam juga tidak diperkenankan berdakwah di seluruh tanah Papua, khususnya di Kabupaten Jayapura.

Selain itu, siswa-siswi pada sekolah-sekolah negeri tidak boleh menggunakan pakaian seragam/busana yang bernuansa agama tertentu.

Tuntutan lainnya, tidak boleh ada ruang khusus seperti Mushalla pada fasilitas umum (sekolah, rumah sakit, pasar, terminal dan kantor-kantor pemerintah).

Dinyatakan pula, PGGJ akan memproteksi bahwa di area-area perumahan KPR-BTN tidak boleh ada pembangunan masjid dan mushalla.

“Pembangunan rumah-rumah ibadah di Kabupaten Jayapura wajib mendapat rekomendasi PGGJ, Pemerintah Daerah Pemilik Hak Ulayat sesuai dengan peraturan pemerintah,” ujar pernyataan sikap BP PGGJ yang juga ditandatangani oleh Pimpinan gereja-gereja di Kabupaten Jayapura itu.

Tuntutan berikutnya, PGGJ minta tinggi bangunan rumah ibadah dan Menara agama lain tidak boleh melebihi tinggi bangunan gedung gereja yang ada di sekitarnya.

“Pemerintah Kabupaten Jayapura dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Jayapura wajib menyusun Raperda tentang Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Jayapura,” demikian tuntutan PGGJ terhadap Pemkab Jayapura dan DPRD Kab Jayapura.

Berdasarkan delapan poin di atas, PGGJ mengeluarkan sikap tuntutan dua poin terakhir.

Pertama, pembangunan Menara Masjid Al-Aqsha harus dihentikan dan dibongkar. Kedua, menurunkan tinggi ‘gedung’ Masjid Al-Aqsha sejajar dengan tinggi bangunan gedung gereja yang ada di sekitarnya.

“Apabila sikap PGGJ pada poin pertama dan kedua tidak direspons oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura sebagai ‘Wakil Allah’ di Kabupaten Jayapura, maka PGGJ akan menggunakan cara dan usaha kami sendiri, dalam waktu 14 hari, terhitung tanggal pernyataan ini dibuat,” pungkas pernyataan PGGJ itu. (MNM/Salam-Online)

Baca Juga