JAYAPURA (SALAM-ONLINE): Persekutuan Gereja-gereja Kabupaten Jayapura (PGGJ) mengeluarkan pernyataan sikap pada Kamis, 15 Maret 2018 dengan beberapa tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Jayapura terkait dengan umat Islam.
Pernyataan sikap PGGJ ini berdasarkan konferensi yang digelar pada 16 Februari 2018 lalu. Pada poin pertama tuntutannya, PGGJ minta suara Adzan tidak diperdengarkan ke publik, namun harus diarahkan ke dalam Masjid.
“… Dengan membunyikan suara adzan melalui pengeras suara tanpa menghargai perasaan dari umat Kristiani yang ada di sekitarnya. Bahkan dengan sesuka hati membangun atau mendirikan tempat-tempat ibadah tanpa lebih dahulu berkomunikasi dengan pemeluk agama lain,” bunyi pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Ketua Umum Badan Pekerja (BP) PGGJ Pendeta Robbi Depondoye dan Sekretaris Umum Pdt Joop Suebu, Kamis, (15/3/ 2018).
Umat Islam juga tidak diperkenankan berdakwah di seluruh tanah Papua, khususnya di Kabupaten Jayapura.
Selain itu, siswa-siswi pada sekolah-sekolah negeri tidak boleh menggunakan pakaian seragam/busana yang bernuansa agama tertentu.
Tuntutan lainnya, tidak boleh ada ruang khusus seperti Musholla pada fasilitas umum (sekolah, rumah sakit, pasar, terminal dan kantor-kantor pemerintah).
Dinyatakan pula, PGGJ akan memproteksi bahwa di area-area perumahan KPR BTN tidak boleh ada pembangunan masjid dan musholla.
“Pembangunan rumah-rumah ibadah di Kabupaten Jayapura wajib mendapat rekomendasi PGGJ, Pemerintah Daerah Pemilik Hak Ulayat sesuai dengan peraturan pemerintah,” ujar pernyataan sikap BP PGGJ yang juga ditandatangani oleh Pimpinan gereja-gereja di Kabupaten Jayapura itu.
Tuntutan berikutnya, PGGJ minta tinggi bangunan rumah ibadah dan Menara agama lain tidak boleh melebihi tinggi bangunan gedung gereja yang ada di sekitarnya.
“Pemerintah Kabupaten Jayapura dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Jayapura wajib menyusun Raperda tentang Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Jayapura,” demikian tuntutan PGGJ terhadap Pemkab Jayapura dan DPRD Kab Jayapura.
Berdasarkan delapan poin di atas, PGGJ mengeluarkan sikap tuntutan dua poin terakhir.
Pertama, pembangunan Menara Masjid Al-Aqsha harus dihentikan dan dibongkar. Kedua, menurunkan tinggi ‘gedung’ Masjid Al-Aqsha sejajar dengan tinggi bangunan gedung gereja yang ada di sekitarnya.
“Apabila sikap PGGJ pada poin pertama dan kedua tidak direspons oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura sebagai ‘Wakil Allah’ di Kabupaten Jayapura, maka PGGJ akan menggunakan cara dan usaha kami sendiri, dalam waktu 14 hari, terhitung tanggal pernyataan ini dibuat,” pungkas pernyataan PGGJ itu.
Merespons hal itu, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua, Faisal Saleh, seperti dikutip CNN Indonesia, Sabtu (17/3), menegaskan pihaknya terbuka untuk melakukan dialog bersama dengan Persekutan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura yang, antara lain, mempersoalkan adzan dengan pengeras suara.
“Kalau PGGJ keberatan bisa dibicarakan dalam FKUB karena ada representasi agama-agama di situ,” ujarnya, merujuk pada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang siap memfasilitasi adanya dialog bersama dengan MUI.
Menurut Faisal, persoalan adzan dengan pengeras suara merupakan isu lama di Papua. Namun, ia menyebut hal itu tidak sampai mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Jayapura.
“Tidak segenting apa yang orang dengar di Jakarta, biasa saja,” ujarnya, Sabtu (17/3).
Ketua PGGJ Kabupaten Jayapura Robbi Depondoye lewat pernyataan sikap PGGJ, meminta pemerintah daerah memfasilitasi terjadinya dialog seperti diungkapkan MUI Papua tersebut. (S)