Inggris: Militer Myanmar di Balik Kekerasan Sistematis terhadap Muslim Rohingya
SALAM-ONLINE: Menteri Senior Inggris menganggap Militer Myanmar adalah pihak yang pantas disalahkan atas kekerasan sistematis terhadap Muslim Rohngya.
Menteri Senior Inggris untuk Asia dan Pasifik Mark Field mengeluarkan pernyataan tersebut setelah membaca sebuah laporan sementara dari Misi Pencari Fakta PBB di Myanmar. Dari temuan, komunitas Muslim di negara itu terbukti telah mengalami kekejaman yang dilakukan oleh tentara Myanmar.
“Laporan Misi Pencarian Fakta PBB tentang hak asasi manusia (HAM) telah menegaskan kembali perihal pelanggaran HAM mengerikan yang dialami oleh banyak orang di Burma (Myanmar), menegaskan bahwa militer Burma terutama, adalah pihak yang patut disalahkan atas kekerasan yang meluas dan sistematis terhadap etnis Rohingya,” Kata Field sebagaimana dikutip Anadolu Agency, Selasa (13/3/2018).
Laporan PBB juga mencatat bahwa Myanmar menolak memberikan akses penyelidik PBB ke negara tersebut dan memblokir penyelidikan independen setelah menghancurkan setidaknya 319 desa.“Temuan ini menunjukkan pentingnya penyelidikan terbuka dan transparan terhadap kejadian mengerikan yang menimpa (orang) Rohingya. Saya mendesak pihak berwenang Burma untuk membatalkan keputusan mereka yang tidak ingin bekerjasama dengan Misi Pencari Fakta dan memungkinkan mereka mendapatkan akses segera sehingga mereka dapat melanjutkan pekerjaan mereka,” pinta Field.
Field mendesak pihak berwenang Myanmar “untuk melakukan investigasi yang kredibel serta independen terhadap tuduhan mengerikan itu, dan juga melakukannya untuk sebuah proses peradilan demi pertimbangan pertanggungjawaban atas pelanggaran tersebut”.
Field juga mengatakan, “Inggris berkomitmen penuh untuk membantu mengakhiri krisis kemanusiaan Rohingya.”
Sementara itu Ketua Misi Pencari Fakta PBB ,Marzuki Darusman, kembali menegaskan bahwa militer maupun warga sipil Myanmar telah terbukti melakukan diskriminasi terhadap Muslim Rohingya dengan menuduh mereka sebagai “teroris” dan imigran gelap dari bangladesh.
“Baik otoritas militer maupun warga sipil Myanmar terbukti secara efektif memberi label pada populasi Rohingya sebagai ‘imigran gelap’, Bengali dan ‘teroris ekstremis’,” kata Marzuki.
“Sangat penting bagi orang-orang yang kehilangan tempat tinggal (Muslim Rohingya) untuk tidak dikembalikan (ke Tanah Asal Mereka) tanpa jaminan yang memadai demi perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya.
Etnis Rohingya digambarkan oleh PBB sebagai manusia yang paling teraniaya di dunia, karena menghadapi ketakutan yang terus menerus meningkat akibat serangan yang mereka alami sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.
Menurut Amnesty International, Sejak Agustus 2017, pasca Pasukan Militer Myanmar melancarkan serangan terhadap Muslim Rohingya, lebih dari 750.000 orang yang kebanyakan wanita dan anak-anak, meninggalkan tanah mereka di Myanmar dengan menyeberang ke Bangladesh.
Para pengungsi tersebut melarikan diri dari operasi militer, dimana pasukan keamanan dan gerombolan Buddha membantai pria, wanita dan anak-anak, menjarah rumah dan membakar desa-desa Rohingya.
Menurut organisasi kemanusiaan medis internasional, Doctors Without Borders (Dokter tanpa Batas), setidaknya 9.000 orang Rohingya terbunuh di negara bagian Rakhine 25 Agustus hingga 24 September 2017 lalu.
Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pada 12 Desember 2017 lalu, kelompok dokter internasional itu mengatakan, 71,7 persen atau 6.700 kematian orang Rohingya, disebabkan oleh tindak kekerasan, termasuk 730 anak di bawah usia lima tahun.PBB juga mendokumentasikan beberapa kejadian yang dialami Muslim Rohingya seperti perkosaan massal, pembunuhan—termasuk bayi dan anak kecil—pemukulan brutal dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar. Dalam sebuah laporan, penyidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. (MNM/Salam-Online)
Sumber: Anadolu Agency