Serangan tak Berhenti, Warga Suriah di Ghouta Timur Ejek Berita Gencatan Senjata

Pembantaian yang dilancarkan rezim Basyar Asad untuk mendapatkan kembali kendali atas Ghouta Timur telah membunuh lebih dari 500 warga sipil sejak 18 Februari lalu. (Foto: AFP)

GHOUTA TIMUR (SALAM-ONLINE): Warga Suriah di Ghouta Timur “mengejek” sebuah klaim “gencatan senjata” yang disebut di daerah tersebut, karena pengeboman oleh rezim Basyar Asad dan Rusia terus berlanjut, demikian diungkapkan para dokter dan aktivis lokal.

“Warga Ghouta Timur mengolok-olok berita tentang koridor yang aman (area gencatan senjata), mereka tidak mempercayainya sedetik pun. Mereka telah kehilangan semua kepercayaan dan kredibilitas rezim, terutama karena serangan tersebut tidak juga berhenti,” ungkap aktivis kemanusiaan Abdelmalik Aboud di Kota Douma kepada Aljazeera, Kamis (1/3/2018).

Sedikitnya lima warga sipil terbunuh pada Kamis (1/3) dalam serangan di beberapa kota di Ghouta yang dikuasai pejuang Suriah—di pinggiran ibu kota Damaskus—Aboud mengatakan kepada Aljazeera.

Fayez Orabi, juru bicara divisi kesehatan oposisi di Damaskus dan sekitarnya dan Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), membenarkan jumlah yang terbunuh tersebut.

Pertahanan Sipil Suriah—sebuah kelompok suka relawan yang juga dikenal sebagai Helm Putih (White Helmets)—mengatakan seorang anak meregang nyawa dalam serangan tersebut.

Beberapa upaya untuk memberlakukan gencatan senjata di Ghouta Timur telah gagal dalam beberapa hari ini.

Kawasan ini merupakan target utama rezim karena kedekatannya dengan Ibu kota Damaskus, di mana rezim Basyar Asad tinggal dan bermarkas bersama sekutu utama mereka, Rusia.

Ghouta Timur sendiri sampai sekarang masih berada di bawah kendali kelompok oposisi bersenjata sejak 2013, dua tahun setelah sebuah perlawanan yang menyerukan lengsernya rezim Asad digelar di Suriah pada Maret 2011.

Ketika rezim menghadapi perlawanan warga dengan kekerasan, penduduk setempat dan tentara pembelot memutuskan untuk mengangkat senjata dan berhasil menguasai wilayah-wilayah besar di seluruh negeri.

Namun karena intervensi Rusia sejak akhir September  2015, pasukan Asad berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah tersebut. Namun Ghouta Timur tetap menjadi salah satu basis kubu oposisi bersenjata yang masih dikuasai kelompok pejuang.

Daerah tersebut berada di bawah pengepungan (blokade) pasukan rezim sejak 2013, sebagai upaya untuk menguras kekuatan oposisi bersenjata yang beroperasi di sana.

Baca Juga

Sementara Rusia dan rezim Suriah berdalih dengan mengatakan bahwa serangan mereka ke Ghouta Timur adalah untuk membidik kelompok bersenjata yang mereka sebut sebagai “teroris”. Namun yang terjadi justru kawasan serta permukiman sipil dan fasilitas umum yang jadi sasaran serangan.

Menurut Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah, sekitar 19 pasar, tujuh pusat kesehatan, enam sekolah, tiga taman kanak-kanak dan 10 pusat pertahanan sipil, telah digempur sejak November 2017.

Serangan rezim untuk mendapatkan kembali kendali atas Ghouta Timur meningkat sejak 18 Februari. Sejak itu, hampir 600 warga sipil terbunuh, termasuk wanita dan anak-anak, menurut aktivis setempat.

‘Serangan tidak berhenti’

Pada 24 Februari lalu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengeluarkan resolusi gencatan senjata untuk 30 hari. Resolusi gencatan senjata yang disepakati 15 negara itu, termasuk Rusia, malah dilanggar hanya beberapa jam kemudian setelah disahkan.

Dan, pada 26 Februari, Rusia mengatakan akan memberlakukan gencatan senjata lima jam setiap hari. Dalam lima jam setiap hari itu akan dilakukan evakuasi penduduk di kawasan yang dilancarkannya serangan. Dengan demikian, warga terhindar dari serangan tersebut. Namun, warga mengatakan, baik gencatan senjata maupun koridornya tidak dilaksanakan.

“Serangan tersebut tidak berhenti, rezim (Suriah) tidak mematuhi gencatan senjata. Pelanggaran gencatan senjata konstan—24 jam sehari,” kata Aboud.

Karena pengepungan, bantuan kemanusiaan sangat sedikit masuk ke Ghouta Timur.

Menurut PBB, hampir 12 persen anak balita di Ghouta Timur menderita malnutrisi akut tingkat tertinggi yang pernah tercatat sejak awal perang di Suriah pada Maret 2011, yang hingga dalam tujuh tahun ini telah membunuh hampir setengah juta orang. (S)

Sumber: Aljazeera

Baca Juga