JAKARTA (SALAM-ONLINE): Setelah publik dihebohkan dengan video jamaah umrah Indonesia yang membaca ikrar Pancasila saat Sa’i dan menjadi viral di media sosial, kehebohan serupa juga diperlihatkan oleh jamaah umrah Ansor/Banser Nahdlatul Ulama (NU) dengan melantunkan Mars NU Ya Lal Wathan (Syubbanul Wathan).
Berbagai tanggapan pun muncul, dari yang membela sampai yang menyayangkan hal itu bisa dilakukan. Salah satu pihak yang membela adalah Wakil Sekretaris PW GP Ansor Jawa Tengah, Rikza Chamami. Melalui tulisannya yang tersebar di media sosial, dia mengatakan bahwa rombongan Ansor/Banser melakukan itu secara sadar dengan menimbang hukum manasik umrah.
Apalagi, kata dia, 70% jamaah yang berada dalam rombongan adalah para “Gus” atau anak Kiai yang secara keilmuan tidak bisa diragukan lagi. Oleh karenanya, menurut Rikza, beberapa kecaman tersebut tidak lain hanya datang dari pihak yang tidak menyukai Banser.
“Karena yang melakukan itu Banser. Ya memang Banser hari ini selalu menjadi buah bibir. Setiap yang dilakukan Banser akan dianggap ‘salah’ oleh yang tidak suka dengan Banser,” ungkap Rikza.
Pihak yang tidak menyuakai Banser, menurut Rikza, adalah mereka yang tidak berhaluan Ahlu Sunnah wal Jamaah dan ingin mengubah NKRI menjadi khilafah.
Dia juga menyebutkan bahwa yang pertama kali melakukan bully adalah pasukan cyber anti-NKRI dan meneruskan ke group-group media sosial.
“Itu sudah jelas sekali gerakan yang tidak ingin nama Banser harum,” kata dia.
Tidak Dilarang dalam Fiqh?
Rikza, yang juga tercatat sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang itu mengemukakan hal ini terkait hukum amalan yang dilakukan Ansor/Banser tersebut. Dia menganggap tidak ada larangan dalam Sa’i melafadzkan syair-syair yang berisi doa dan ikrar cinta bangsa seperti Mars Ya Lal Wathan kebanggaan NU.
“Tidak terdapat pula hujjah yang menjelaskan batalnya sa’i karena melafadzkan syair semacam Ya Lal Wathan,” kata Rikza.
Apalagi dia menganggap bahwa Mars Ya Lal Wathan yang digubah oleh KH Abdul Wahab Chasbullah itu adalah bentuk dzikir yang di dalamnya terdapat syair penguatan iman manusia yang dilakukan dengan mencintai bangsa.
Maka, kata dia, “Dzikir” Ya Lal Wathan tidak masalah jika dibaca di tempat Mustajab, termasuk saat melaksanakan sa’i. Dan hal itu tidak bisa dibandingkan dengan Rasulullah yang pernah melakukannya atau tidak.
“Maka bagi kita perlu menjawab dengan sederhana bahwa Ya Lal Wathan adalah doa yang sudah familiar dan wajib dihapalkan oleh warga Nahdliyyin saat kapan pun,” terangnya.
Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Quomas (Gus Yaqut) menjelaskan bahwa lantunan mars Yaa Lal Wathan merupakan spontanitas yang muncul dari anggota Banser NU saat sa’i.
“Jadi, syair Yaa Lal Wathan yang dikumandangkan Banser di Mas’a (tempat sa’i) itu adalah murni spontanitas. Spontanitas yang muncul dari kebiasaan yang selama ini terus dilakukan oleh sahabat-sahabat Banser di tanah air,” kata Gus Yaqut seperti dikutip Kumparan, Selasa (27/2).
Di sisi lain, Ketua Majelis Ulama Indoneisa (MUI) Jawa Timur, KH Abdusshomad Buchori, mengatakan bahwa memang secara hukum bersya’ir ketika Sa’i tidaklah membatalkan Ihram, namun dia menegaskan bahwa hal itu tidak Mu’tadhol Hal atau “tidak pada tempatnya”.
“Tidak pada tempatnya. Ia, tidak tepat, tidak pas. Lebih baik dihindari,” kata kiai Shomad saat ditemui di Jakarta, Selasa (27/2) malam.
Kiai Shomad menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Ansor/Banser sudah mengarah kepada simbol kelompok. Bagi Kiai Shomad, seharusnya ketika sudah berihram, semuanya harus melebur menjadi satu dan tidak membawa simbol-simbol kelompok.
“Jadi sebaiknya tidak membawa hal yang sekiranya membawa kepada golongan,” ujarnya.
“Seharunya orang ibadah niat karena Allah tidak membawa kelompok. Karena di sana sudah lebur,” ungkapnya seraya menjelaskan bahwa hikmah dari pakaian Ihram yang serba putih tanpa jahitan dan simbol kelompok adalah untuk menyamaratakan umat Islam di seluruh dunia.
Atas kejadian tersebut, Kiai Abdusshomad menganggap bahwa perlu ada teguran terhadap Banser agar hal ini tidak menjadi polemik berkepanjangan di tengah umat. Ormas NU yang membawahi Banser dianggap Kiai Shomad yang paling pantas mengclearkan hal itu.
“Ini memang yang harus menasihati dari Jam’iyah mana, Ormas mana, itu lebih bagus. Jadi tokohnya, ulamanya,” kata dia.
Bagaimana jika hal yang sama Dilakukan Warga Negara Lain?
Duta Besar Kerajaan Arab Saudi untuk Indonesia, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi juga turut menanggapi kejadian yang akhir-akhir ini heboh di Indonesia itu. Menurutnya, hal tersebut tidak pantas dilakukan.
Osama mengatakan jika semua jamaah umrah atau haji diperbolehkan bersyair di luar bacaan ibadah haji (yang sudah ditetapkan sesuai Sunnah Rasulullah), pasti semua jamaah yang datang dari berbagai negeri akan melakukan hal yang sama.
“Pasti semua akan melakukan hal yang sama, dan akan menimbukan kegaduhan,” kata Osama saat ditemui di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (27/2) malam.
Kendati demikian dia menganggap hal itu mungkin dilakukan karena ketidaktahuan jamaah Ansor/Banser. Dia tidak mengatakan bahwa mereka memiliki akidah yang rusak, hanya saja hal yang sama tidak boleh terjadi lagi.
“Mereka bagian dari Ahlu Sunnah juga, hanya kita mengingatkan kejadian ini jangan sampai terjadi,” kata Osama.
Sebelumnya, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, menegaskan bahwa apa yang dilakukan Jamaah Ansor/Banser itu dapat memicu merusak hubungan antara Indonesia-Saudi yang saat ini berada pada masa keemasan.
“Aksi di Mas’a tersebut berpotensi mengganggu hubungan diplomatik Indonesia–Arab Saudi yang saat ini sedang berada di masa keemasan,” ungkap Maftuh dalam keterangannya.
Oleh karenanya, dia mengimbau kepada seluruh Ekspatriat Indonesia yang sedang atau akan berkunjung ke Arab Saudi, untuk mematuhi peraturan, kepatutan dan norma-norma yang berlaku di Arab Saudi.
“Untuk diketahui bersama, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi melarang keras segala bentuk upaya yang mempolitisasi Umrah dan Haji,” kata dia. (MNM/Salam-Online)