Generasi Suriah Kehilangan Kesempatan Mengenyam Pendidikan karena Perang

PBB mengatakan 43 persen anak-anak pengungsi Suriah tidak bersekolah. (Foto: AP)

JENEWA (SALAM-ONLINE): Muzoon Almellehan, seorang gadis Suriah dari Deraa, selatan Damaskus, memimpikan masa depannya sebagai seorang jurnalis. Namun siapa menduga, perang mengubah segalanya. Konflik yang sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun, memaksa keluarganya untuk mengungsi dari negara asalnya itu pada 2013.

Tapi Muzoon (20), bukan gadis biasa. Selama lima tahun terakhir, hidup sebagai pengungsi, ia memelopori kampanye untuk mempromosikan hak anak-anak pengungsi dalam pendidikan. Dia memulai misinya pada usia 14 tahun di sebuah kamp pengungsi di Yordania, setelah beberapa teman sekolahnya putus sekolah untuk dinikahkan, meski masih tergolong anak-anak.

“Ketika kami melarikan diri dari Suriah, kami harus meninggalkan semuanya. Ayah saya mengatakan kepada saya untuk hanya membawa apa yang paling saya butuhkan. Saya membawa buku-buku saya, itu adalah satu-satunya harapan saya,” kata Muzoon seperti dikutip Aljazeera, Kamis (12/4/2018).

“Aku pikir: Ke mana pun kita pergi, apa yang akan terjadi jika aku tidak bisa ke sekolah? Buku-bukuku adalah satu-satunya hal yang bisa memberiku masa depan,” ungkapnya.

Wajahnya yang ingin tahu, dibalut jilbab, menunjukkan tekad saat dia melangkah ke ruang pertemuan. Dia diundang ke Jenewa, Swiss, untuk berbicara tentang hak anak-anak pengungsi yang memilih dan membentuk masa depan mereka. “Hanya pendidikan yang tepat yang dapat diberikan,” katanya.

“Pendidikan adalah satu-satunya hal yang penting. Ini adalah satu-satunya hal yang dapat memberdayakan kami dan mengubah kondisi kami. Tanpa pendidikan kami tidak dapat memiliki masa depan,” ungkap Muzoon.

“Kita perlu dididik jika kita ingin membangun kembali negara kita. Kita berutang kepada Suriah.”

Seperti kebanyakan dari mereka, Muzoon telah menyaksikan terlalu banyak, terlalu dini untuk usianya.

“Ketika Anda kehilangan segalanya, dari orang-orang yang Anda cintai di rumah Anda, sulit untuk berpikir bahwa pendidikan itu penting. Tetapi memang demikian. Terutama bagi kita para gadis yang paling rentan dari semuanya.”

40 persen lebih putus sekolah

Menurut badan-badan PBB, sekitar 43 persen anak-anak pengungsi Suriah di Turki, Lebanon, Yordania dan Irak tidak bersekolah.

Kemiskinan dan berkurangnya keuangan membuat hampir tidak mungkin bagi keluarga pengungsi itu untuk tinggal di negara-negara ini. Dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh UNICEF di Yordan, lebih dari 85 persen pengungsi di luar kamp hidup dalam kemiskinan, berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk memberikan pendidikan untuk anak-anak mereka.

Tetapi sulit untuk membayangkan peningkatan dalam kehidupan dan prospek anak-anak pengungsi Suriah. Ketika perang semakin berlarut-larut, prospek untuk kembali ke kehidupan normal bagi jutaan warga Suriah di negara-negara tetangga dan 2,8 juta pengungsi di dalam Suriah sendiri tetap tidak realistis.

Seluruh generasi Suriah rupanya kehilangan kesempatan untuk menerima pendidikan karena perang.

“Telah ada pengabaian total terhadap perlindungan anak-anak oleh semua pihak dalam konflik ini,” kata Christophe Boulierac, juru bicara UNICEF. “Kami terus menyerukan kepada semua pihak yang terlibat dalam konflik agar melakukan apa yang harus mereka lakukan untuk melindungi anak-anak sesuai hukum internasional.”

Dua bulan pertama tahun ini telah sangat berdarah bagi anak-anak di Suriah. UNICEF menerima laporan lebih dari 1.000 anak meregang nyawa dan terluka parah sejak awal tahun. Pada 2017 saja, UNICEF mencatat 1.271 anak diverifikasi sebagai korban perang Suriah, yang terdiri dari 361 luka-luka dan 910 terbunuh.

Sementara itu, di negara-negara pengungsi, hampir 10.000 anak-anak pengungsi Suriah terpisah dari keluarga mereka. Banyak dari anak-anak ini rentan terhadap eksploitasi dan jadi pekerja anak, karena kurangnya dokumen hukum atas mereka.

Baca Juga

Dibiarkan tanpa harapan, karena warga Suriah menemukan diri mereka mengungsi beberapa kali, sehingga banyak keluarga menikahkan anak perempuan mereka sebagai pengantin dini (masih anak-anak) untuk melindungi mereka agar tidak diculik dan dilecehkan, atau untuk menyelamatkan mereka dari kemiskinan dan kelaparan.

“Padahal pernikahan masih anak-anak jarang terjadi di Suriah sebelum perang dimulai,” terang Muzoon.

Dia ingat seorang gadis berusia 17 tahun datang kepadanya untuk memberi tahu bahwa dia harus menikah dengan pria yang lebih tua dari ayahnya.

“Saya mengatakan kepadanya untuk meyakinkan orang tuanya bahwa pendidikan akan memberinya masa depan yang lebih baik daripada seorang suami,” ujarnya menceritakan.

“Aku bilang kepadanya untuk berani. Dia tidak menikah pada akhirnya dan kembali bersekolah.”

Muzoon berkampanye tanpa henti selama tiga tahun di kamp pengungsi Zaatari dan Azraq di Yordania. Keluarganya telah melarikan diri dari Deraa setelah wilayah mereka direbut dalam pertempuran antara pasukan rezim dengan Tentara Pembebasan Suriah (FSA).

“Di Suriah, kami memiliki kehidupan yang normal dan bahagia. Kami memiliki segalanya. Tiba-tiba kami terdampar di sebuah kamp pengungsi.”

Tak ada yang meminta kami ke sekolah

“Kehidupan di kamp (pengungsi) itu sulit,” kenang Muzoon. Keluarganya harus masuk tenda kecil tanpa aliran air atau listrik. Tapi dia “tidak ingin bersikap negatif, meniadakan,” katanya. Untuk itu, Muzoon pun mencari sekolah agar tidak ketinggalan kelas sembilan.

“Tidak ada yang akan meminta kami untuk pergi ke sekolah. Itu benar-benar sukarela, begitu banyak anak-anak tidak pergi bersekolah. Jadi saya mulai mengunjungi tenda-tenda kamp untuk mempublikasikan sekolah dan mendorong anak-anak untuk bergabung.”

Dia mengaku sering dicemooh dan diusir oleh orang tua dan anak-anak, yang menganggap pernikahan adalah satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan.

“Saya tahu bagaimana perasaan mereka, kengerian dan rasa sakit yang mereka alami, peristiwa yang mereka saksikan adalah sesuatu yang tidak dapat mereka lupakan. Bagi kebanyakan mereka, pendidikan nampaknya merupakan hal yang tidak relevan,” ujar Muzoon.

Tetapi banyak anak-anak kembali ke sekolah berkat dorongannya. UNICEF mendukung Muzoon dalam misinya dan tahun lalu menjadikannya sebagai duta muda dalam amal dan persahabatan.

Geert Cappelaere, direktur regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, menyerukan kepada orang-orang yang berperang di Suriah dan semua pihak yang memiliki pengaruh untuk menyingsingkan lengan mereka dan menghentikan perang demi anak-anak.

“Anak-anak Suriah telah menunggu terlalu lama. Dunia telah mengecewakan anak-anak Suriah berkali-kali. Sejarah akan menilai kita semua jika kita melakukannya,” kata Cappelaere. (S)

Sumber: Aljazeera

Baca Juga