Horor Serangan Gas Beracun di Ghouta Timur-Suriah, Jumlah Korban Terus Bertambah

GHOUTA (SALAM-ONLINE): “Saya kehilangan kesadaran. Saya tidak bisa bernapas lagi; rasanya paru-paru saya mati,” kenang Abu Jaafar, warga Douma, di Ghouta Timur, Suriah.

“Saya terbangun sekitar 30 menit kemudian dan mereka telah menanggalkan pakaian saya dan membersihkan tubuh saya dengan air,” ungkap Abu Jaafar menceritakan hilangnya kesadarannya saat mengalami serangan kimia yang dilancarkan pasukan rezim Bastar Asad di Douma, Ghouta timur, Suriah, kepada Aljazeera, Ahad (8/4/2018).

“Mereka (tim relawan) berupaya membuatku agar muntah ketika mulutku memancarkan zat kuning.”

Abu Jaafar adalah salah seorang yang selamat yang berjuang dalam mengatasi efek serangan zat kimia pada Sabtu (7/4) di kota terkepung, Douma, markas oposisi terakhir di Ghouta timur, dekat ibu kota Suriah, Damaskus.

Relawan Pertahanan Sipil Suriah pro oposisi dan staf medis mengatakan sedikitnya 85 orang meregang nyawa dalam serangan zat klorin-gas beracun. Lucunya, seperti dilansir Aljazeera, rezim Asad masih juga membantah terkait serangan gas beracun tersebut.

Mereka yang menjadi korban serangan kimia tersebut, kata saksi, mayoritasnya adalah wanita dan anak-anak yang berlindung di ruang bawah tanah bangunan untuk menghindari serangan rezim.

Abu Jaafar adalah pekerja di stasiun radio. Dia mengatakan, ketika warga yang panik mulai berlarian setelah serangan itu, dia bergegas ke salah satu tempat persembunyian untuk memeriksa teman-temannya dan membantu warga keluar.

“Ketika warga berada di tempat penampungan, beberapa orang di atas bangunan berhasil melihat bom-bom gas ketika dijatuhkan dari pesawat,” ungkap Abu Jaafar yang menggambarkan apa yang dia katakan sebagai gas hijau berasal dari tabung yang dijatuhkan dari udara.

Dia menjelaskan, mereka yang melihat gas beracun itu bergegas untuk memberitahu semua orang di ruang bawah tanah agar mengungsi.

“Saya naik dan turun tangga sekitar tiga kali untuk membantu mengevakuasi anak-anak dari dalam bangunan,” terangnya.

Transaksi evakuasi

Serangan gas beracun itu terjadi pada hari kedua dari serangan darat dan udara dahsyat yang dilancarkan pasukan rezim.

Tentara rezim mengatakan serangan itu sebagai balasan terhadap penembakan mematikan oleh Jaisyul Islam, kelompok oposisi terakhir yang masih bertahan di Ghouta Timur. Namun Jaisyul Islam membantah tudingan itu.

Jaisyul Islam saat ini sedang bernegosiasi dengan militer Rusia, sekutu besar rezim Basyar Asad, mengenai kemungkinan kesepakatan evakuasi, demikian laporan yang disiarkan media rezim dan Orient TV—media pro-oposisi Suriah

Pekan lalu, dua kelompok oposisi lainnya mencapai kesepakatan evakuasi dengan Rusia, sehinga sekitar 19.000 orang dievakuasi ke utara Idlib. Mereka termasuk pejuang dari kelompok Faylaq al-Rahman dan Ahrar al-Sham, kerabat mereka dan warga sipil Ghouta timur.

Kelompok-kelompok oposisi mengungkapkan mereka yang dievakuasi dipindah secara paksa. Meskipun warga dan keluarga para pejuang yang dievakuasi itu akhirnya menyerah—terpaksa dievakuasi—setelah ber-minggu-minggu dibombardir intens oleh pasukan rezim dan Rusia.

Sementara itu, warga sipil yang masih bertahan, terus menanggung serangan dan akibat dari pengepungan (blokade) melumpuhkan yang berlangsung sejak 2013 itu.

Adegan tak terbayangkan

Serangan gas beracun di Douma adalah yang terbesar dari jenisnya di Suriah sejak April 2017 lalu, ketika gas Sarin atau mirip sarin dijatuhkan ke kota Khan Sheikhoun, menewaskan sedikitnya 85 orang.

Baca Juga

Tim penyelamat juga memposting video para korban untuk menunjukkan gejala yang konsisten dari efek serangan gas beracun tersebut. Di antara korban nampak mengeluarkan busa putih dari mulut dan hidung mereka.

Gejala serangan klorin termasuk batuk, dyspnea, iritasi intensif pada selaput lendir dan kesulitan bernapas.

Abu Jaafar mengatakan bahwa warga yang tidak berhasil dievakuasi dari tempat penampungan, meninggal seketika.

“Ada ruang bawah tanah, kami memasuki bangunan-bangunan itu dan menemukan mayat di tangga dan di lantai. Mereka meninggal ketika mencoba untuk keluar,” katanya.

Para aktivis mengatakan bahwa beberapa klinik dan tim ambulans di Douma telah dibombardir selama serangan berlangsung. Hal ini tentu sangat mengganggu upaya pertolongan medis.

Ketika kami tiba di dalam sebuah bangunan, saya melihat tubuh seorang ibu yang tidak bernyawa berusia 50-an, dengan dua anak perempuannya yang dewasa dan seorang anak dengan tangan saling berpelukan, semua mengeluarkan busa di mulut,” ungkap aktivis tersebut.

Aktivis lokal Alaa Abu Yasser juga di antara mereka yang mencoba membantu mengevakuasi warga.

“Saya pergi ke sebuah bangunan di mana sekitar 35 orang tewas akibat serangan ini; adegan yang saya lihat tidak terbayangkan, tidak seperti yang pernah saya lihat di film-film,” katanya kepada Aljazeera, seraya menggambarkan akibat dari serangan itu.

“Ketika saya mendekati bangunan, seorang pria menangis histeris saat dia menyeret kakinya ke arah kami membawa kedua anaknya … dia memeluk kedua anaknya, menciuminya setelah kedua anaknya tersebut mati lemas,” ujarnya.

“Saya kebanyakan melihat anak-anak dan wanita di tiga kamar terpisah; mereka ditempatkan di sana untuk mengisolasi bau gas bagi mereka yang selamat,” tambahnya.

Meskipun White Helmets, sekelompok relawan yang beroperasi di daerah yang dikuasai oposisi dan Syrian-American Medical Society telah melaporkan korban meninggal sebanyak 85 orang, namun kemungkinan besar jumlah korban jiwa itu bisa lebih banyak lagi.

“Tim relawan belum dapat mendokumentasikan semua (jumlah korban yang masih hidup atau meninggal),” kata aktivis lokal Mansour Abu al-Khair. “Mereka kewalahan dan tidak bisa menghadapi dampak serangan tersebut.”

Dia menjelaskan banyak di antara korban jiwa masih berada di bawah bangunan yang hancur dan belum ditarik dari puing-puing.

“Yang lainnya langsung dikubur oleh keluarga mereka, jadi mereka belum masuk hitungan, belum terdaftar,” terang al-Khair.

“Kami prediksikan jumlah korban tewas melampaui 100,” ujarnya. (S)

Sumber: Aljazeera

Baca Juga