JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pembahasan RUU Pemberantasan “Terorisme” yang diusulkan Pemerintah di DPR masih saja berjalan alot.
Dalam sidang paripurna yang dilaksanakan pada Selasa (10/4/2018) pekan lalu DPR sepakat memutuskan pembahasan RUU yang merupakan revisi atas UU Nomor 15/2003, diperpanjang sampai masa sidang berikutnya. Padahal mestinya pembahasan RUU tersebut telah rampung Desember 2017.
Pada diskusi yang digelar Komnas HAM Senin (16/4) Ketua Pansus, Muhammad Syafi’i mengatakan, penundaan tersebut lantaran pihak pemerintah belum bisa mendefinisikan kata Teror, Teroris dan Terorisme. Syafii mengaku, sebelumnya pendefinisain terkait tiga kata tersebut oleh pemerintah ditolak. Namun Syafi’i menganggap bahwa DPR telah sepakat hal itu perlu didefinisikan karena akan menentukan penyasaran UU Terorisme sendiri.
“Saya bilang, kalau tanpa definisi yang jelas, jangan harap RUU itu disetujui (DPR),” ungkap Syafi’i pada diskusi yang digelar di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (16/4).
Definisi tentang “teroris” sendiri di berbagai negara, selalu terkait dengan kekuasaan politik. Sebut misalnya di beberapa negara Timur Tengah, Ikhwanul Muslimin dianggap oleh Arab Saudi sebagai kelompok “teroris”. Begitu juga dengan negara asalnya, Mesir. Namun di sisi lain, kelompok Ikhwanul Muslimin, justru mendapatkan tempat di Negara Qatar dan Turki. Bahkan peringatan hari jadi ke-90 tahun gerakan Islam yang didirikan Syaikh Hasan Al-Banna itu digelar di Istanbul pada Ahad (1/4/2018) lalu.
Lain lagi dengan partai politik suku Kurdi di Turki, Partai Pekerja Kurdistan (PKK). PKK dinyatakan oleh Turki, AS, Uni Eropa dan NATO sebagai kelompok teroris. Namun cabang PKK di Suriah, yaitu YPG/PYD dan turunannya, SDF (Pasukan Demokratik Suriah), yang juga dicap kelompok teror oleh Turki, malah jadi mitra Amerika Serikat (AS).
Padahal AS, sebagaimana Turki, juga memasukkan induk SDF/YPG/PYD, yakni PKK sebagai kelompok teroris. Dalam konteks manuvernya di Suriah, AS tak konsisten, karena menganggap kelompok yang berbasis di wilayah timur dan selatan Turki itu perlu didukung.
Di Indonesia sendiri, pendefinisian terkait teroris maupun kelompok teroris masih simpang siur. Kelompok Islam, ataupun aktivisnya tidak jarang ditetapkan sebagai teroris meskipun pembuktiannya sendiri tidak kuat. Dalam kasus Siyono misalnya, dugaan teroris terhadap Siyono belum terbukti secara hukum, namun sebelum pembuktian dilakukan justru nyawa Siyono harus melayang di tangan pihak yang berwenang.
Begitu juga dengan kelompok separatis di Papua, yakni Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jika melihat rekam jejak OPM, organisasi tersebut kerap melakukan aksi-aksi berbau terorisme seperti penyanderaan pada November 2017, juga teror dan penembakan terhadap aparat kemanan.
Namun, OPM sampai saat ini belum juga ditetapkan oleh pemerintah maupun aparat keamanan sebagai kelompok Teroris seperti halnya ISIS. Padahal jika dilihat, OPM sendiri telah melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana tertulis di pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bidang Polhukam Fadli Zon sendiri, beranggapan bahwa OPM sudah pantas dijadikan sebagai kelompok teroris daripada hanya disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Saya mengecam keras tindakan penyanderaan oleh Kelompok Bersenjata OPM. Apa yang mereka lakukan bukan lagi tindakan kriminal biasa. Melainkan bentuk tindakan terorisme sehingga mereka lebih tepat disebut kelompok teroris, daripada kelompok kriminal,” ungkap Fadli dalam siaran persnya pada November 2017, sesaat setelah penyanderaan dilakukan OPM terhadap 1.300 orang Papua.
Berbeda dengan Fadli Zon, Inspektur Babinkum TNI, Kolonel CHK Edy Imran, menganggap kelompok seperti OPM tidak bisa disebut sebagai kelompok teroris karena motivasinya adalah ingin memisahkan diri dari NKRI. Sementara kelompok teroris menurut Kolonel Edy adalah kelompok yang yang ingin mendirikan Negara Islam dan menerapkan Syariah Islam.
“Kalau seperatisme itu kan sudah jelas, ada keinginan memisahkan dri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi misalnya aksi terorisme adalah ingin mendirikan Negara Islam atau memberlakukan Syariat Islam. Mungkin perlu dibedakan. Meskipun dilakukan dengan cara-cara kekerasan,” kata Kolonel Edy dalam diskusi terkait UU Terorisme yang digelar Komnas HAM pada Senin (16/4).
Bagi Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, perlu adanya pembatasan khususnya kekuasaan dan politik dalam pendefinisian terorisme, teror maupun teroris. Hal itu, menurutnya, akan menghindari penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of Power) terhadap UU Terorisme itu sendiri.
Oleh karenanya, pendefinisian tersebut, kata Anam, jangan diserahkan kepada pihak yang berwenang. Hal itu jika dilakukan, menurutnya, bisa saja terjadi sebagaimana di negara Timur Tengah yang mengatagorikan teroris sesuai kehendak penguasa. Anam menganggap, legitimasi tersebut harus diserahkan sepenuhnya kepada pengadilan.
“Kalau kita meletakkan kepada pejabat yang berwenang, suatu saat nanti mungkin akan terjadi kaya Timur Tengah. Makanya salah satu jembatan penting….bagi kami pengadilan,” ujar Anam.
Sementara itu, Ketua Imparsial, Al A’raf menganggap definisi terkait terorisme dalam perjalanannya selalu berubah. Hal itu juga yang terjadi dalam studi keamanan. Perspektif terorisme pun, kata dia, bisa saja berbeda antara satu dan yang lainnya.
Oleh karena itu, definisi terkait terorisme dalam RUU Terorisme yang saat ini tengah dibahas di DPR, menurutnya, tidaklah penting. Bagi Al A’raf, daripada berdebat mengenai definisi, lebih baik cukup dijelaskan unsur tindak pidanya saja.
Unsur tindak pidana terorisme yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, bagi Al A’raf sudah cukup jelas, menjelaskan siapa yang nanti pantas disebut dengan teroris. Yakni siapa saja yang melakukan tindaan-tindakan kerusakan, teror dan lain sebagainya, sebagaimana tertulis dalam UU tersebut.
“Jadi saya usul kepada pemerintah dan DPR daripada berdebat soal definisi, kembalikan saja ke UU yang lama,” ungkap Al A’raf. Artinya, OPM juga bisa disebut kelompok teroris? (MNM/Salam-Online)