JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pembuat sekaligus pembaca Puisi ‘Ibu Indonesia’, Sukmawati Soekarnoputri, akhirnya meminta maaf kepada umat Islam atas terkait puisi yang dibacakannya dalam ajang Indonesia Fashion Week 2018 di JCC Jakarta pekan lalu. Permintaan maaf tersebut diungkapkan adik kandung Ketua Umum PDIP Megawati itu melalui konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (4/4/2018).
Dalam klarifikasinya Sukmawati mengatakan bahwa puisi yang ia bacakan semata-mata pandangan pribadinya sebagai seniwati dan budayawati. Dia bilang, itu murni sebagai karya sastra Indonesia.
Sukma mengatakan tidak ada niatan untuk menghina umat Islam Indonesia dengan puisi ‘Ibu Indonesia’ itu. Apalagi, kata dia, dia merasa bangga dan bersyukur akan keislaman dirinya sebagai anak dari Proklamator Bung Karno yang dia sebut sebagai tokoh Muhammadiyah.
“Saya adalah seorang Muslimah yang bersyukur dan bangga akan keislaman saya, putri seorang Proklamator Bung Karno yang dikenal juga sebagai tokoh Muhammadiyah dan juga tokoh yang mendapatkan gelar dari Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Waliyul Amri Ad Dharur bi Assyaukah,” kata Sukmawati.
Menurutnya, Puisi ‘Ibu Indonesia’ adalah salah satu puisi yang ia gubah dan menjadi bagian dari buku kumpulan puisi Ibu Indonesia yang telah diterbitkan 2006 silam. Pusi tersebut dia tulis sebagai refleksi keprihatinan tentang wawasan kebangsaan.
“Saya rangkum semata-mata untuk menarik perhatian anak-anak bangsa agar tidak melupalkan jati diri bangsa asli,” ungkapnya.
Namun lantaran karyanya tersebut telah menuai protes di berbagai Kalangan umat Islam, dia mengatakan bahwa dirinya memohon maaf dari lubuk hati terdalam.
“Saya Mohon maaf lahir batin kepada umat Islam Indonesia, khususnya bagi yang merasa tersinggung dan berkeberatan dengan puisi ‘Ibu Indonesia,” kata dia.
Sukmawati Tetap Dilaporkan
Namun sepertinya, permintaan maaf Sukawati tidak mengurungkan niat berbagai kalangan untuk melaporkan perbuatannya itu ke pihak berwenang.
Pada hari yang sama, Rabu (4/4), Forum Anti Penodaan Agama (FAPA) tetap melaporkan Sukmawati ke Bareskrim Mabes Polri.
FAPA yang terdiri dari Ikatan Keluarga Alumni Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Se-Jabodetabek (IKA UMSU Jabodetabek), Keluarga Alumni Universitas Muhammadiyah Se-Nusantara (KAUMAN) dan Lembaga Advokasi Konsumen Muslim Indonesia (LAKMI), menilai apa yang telah dilakukan Sukmawati merupakan bentuk penghinaan dan penodaan terhadap Islam.
Bukan hanya itu, FAPA juga menganggap apa yang dilakukan Sukmawati mencerminkan intoleransi, anti kebhinnekaan dalam mengharagai keyakinan beragama dan bertentagan dengan Pancasila.
“Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945, sebagai norma dasar yang menghargai keberagaman, kebhinnekaan dan kebebasan dalam menjalankan ajaran agamanya,” ungkap Ketua Pelapor Mursal Fadhilah di Kantor Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu( (4/4) sore.
Mursal juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan Sukmawati telah mencederai rasa keadilan dan merupakan pelanggaran hukum serius. Atas hal itu, kata dia, Sukmawati patut diduga melanggar ketentuan perundang-undangan.
“Yakni pasal 156a KUHP,” kata Mursal. Ia menambahkan bahwa pihaknya menuntut Sukmawati juga dapat dijerat UU No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, pasal 16.
Sampai saat permintaan maaf Sukmawati beredar di media massa, beberapa pihak yang juga melaporkan Sukmawati ke Polisi seperti PWNU Jawa Timur, dikabarkan belum juga menarik laporannya.
Maaf bukan Berarti Bebas
Ketua Eksekutif Nasional Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI) Chandra Purna Irawan, mengatakan bahwa masyarakat Muslim Indonesia pasti akan memeberikan maaf kepada Sukmawati.
Namun Chandra menyatakan, secara hukum, permohonan maaf tidak bisa menghapuskan atau menggugurkan perbuatan pidana.
Dalam ilmu hukum pidana, kata dia, dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pemaaf. Menurut KUHP, alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum.
“Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP),” terang Chandra dalam keterangan yang diterima Salam-Online, Rabu (4/4) malam.
Menurut Chandra, dugaan penistaan agama yang dilakukan Sukmawati mestinya sudah masuk tahap penyidikan. Sebab, menurutnya, hal itu terkait dengan penistaan agama yang jika dilihat dari sisi hukum ialah delik formil (Formeel Delictien) yang tidak perlu dilakukan pembuktian ada atau tidaknya suatu dugaan tindak pidana.
“Delik Pasal 156a ini delik formil, delik selesai. Sama seperti kalau orang membunuh dengan pisau, pisaunya jadi alat bukti. Kalau dugaan penistaan agama ini, puisi yang isinya membandingkan terkait cadar, adzan dan Syariah Islam, sebagai alat. Jadi faktanya, peristiwanya ada dan dilakukan,” kata Chandra.
Oleh karenanya sebagai praktisi hukum, Chandra mendorong penegak hukum untuk berdiri tegak menegakkan hukum.
”Berdiri tegak, menegakkan hukum agar tercipta keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat,” tegasnya. (MNM/Salam-Online)