Syafii Maarif Minta Pemerintah Indonesia Bela Rakyat Suriah yang Tertindas

Prof Ahmad Syafii Maarif (Foto: MNM/Salam-Online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Ahmad Syafii Maarif, mengatakan pemerintah Indonesia mestinya bersikap dalam konflik Suriah. Mengingat, ujarnya, konflik yang terjadi di tanah Syam tersebut telah berlangsung lebih dari 7 tahun lamanya.

Salah satu sikap yang diharapkan oleh Syafii, pemerintah dapat melakukan pembelaan terhadap rakyat Suriah yang terzalimi.

“Ya, Indonesia harus bersikap sebagai pembela yang tertindas. Dalam Pembukaan UUD kita seperti itu,” ungkap Syafii saat ditemui dalam acara Bedah Buku ‘Konflik Arab dan Masa Depan Islam’ di Islamic Book Fair (IBF), JCC Senayan, Jakarta, Kamis (19/4/2018) malam.

Masalah warga sipil yang terjebak dalam peperangan dan sampai saat ini terus berjatuhan korban nyawa maupun luka-luka, menurutnya, harus segera diselesaikan. Kebergantungan rakyat sipil Suriah terhadap PBB, kata pendiri Maarif Institute ini, tidak bisa diharapkan lebih.

“Bagaimana lagi mereka, bergantung pada PBB, itu penderitaan harus segera diselesaikan,” ungkap Syafii.

Menanggapi serangan Amerika Serikat (AS), Inggris dan Prancis ke rezim Suriah, Syafii sendiri berpendapat hal itu harus dikutuk.

“Serangan itu harus dikutuk. (Serangan gas kimia) Itu perlu diteliti. Apa betul ada atau tidak,” menurutnya.

Sementara itu, pengawas senjata kimia internasional mengatakan pada Rabu (18/4/2018) bahwa tidak jelas kapan tim ahlinya dapat memasuki Douma, Ghouta timur, Suriah untuk menyelidiki dugaan serangan kimia tersebut.

Baca Juga

“Saat ini, kami tidak tahu kapan tim FMM (Fact-Finding Mission) atau Misi Pencarian Fakta dikerahkan ke Douma,” kata Direktur Jenderal Organisasi untuk Larangan Senjata (OPCW) yang bermarkas di Den Haag, Ahmet Uzumcu seperti dilansir Anadolu Agency, Rabu (18/4).

Pada 10 April lalu, OPCW sendiri telah menyatakan akan mengerahkan tim misi pencari fakta untuk menyelidiki dugaan serangan gas kimia di Suriah.

Menurut Uzumcu, sesuai dengan perjanjian Departemen Keselamatan dan Keamanan PBB (UNDSS), rezim Suriah akan mengawal tim ke titik tertentu dan polisi militer Rusia akan mengambil alih.

“Tapi, UNDSS lebih suka melakukan kunjungan dengan mengintai tempat kejadian perkara yang dilakukan Selasa (17/4) kemarin. Anggota tim FFM tidak ikut dalam kunjungan ini,” ujar pernyataan itu.

Namun Setibanya di Tempat Kejadian Perkara (TKP) di satu situs, UNDSS justru disambut kerumunan. Lalu disarankan, Tim UNDSS mundur, terkait masalah keamanan.

Sementara di tempat kejadian kedua, menurut Uzumcu, kedatangan tim disambut dengan tembakan senjata ringan dan peledakan. Akhirnya tim pengintai memutuskan kembali ke Damaskus.

“Insiden itu menunjukkan bahwa lingkungan sangat mudah berubah dan risiko keamanan dihadapi tim FFM,” Uzumcu menambahkan.

Serangan kimia yang diduga telah menewaskan sedikitnya 85 warga sipil, terjadi pada 7 April lalu. Tim OPCW tiba di Suriah pada Sabtu (14/4) tetapi belum memulai penyelidikannya. (MNM/Salam-Online)

Baca Juga